Bucin 2: About Lintang's Home

171 15 5
                                    

Hari berikutnya, di rumah Lintang.

Mungkin beberapa pertanyaan muncul, bagaimana kedekatanku dengan Lintang dan keluarganya? Apakah memang dekat atau sekedar pernah memperkenalkan diri saja.

Jawabannya, keluarga mereka bukan seperti orang lain lagi untukku. Mungkin iya, beberapa tetangga pernah membicarakan kedatanganku ke rumah Lintang yang bagai sudah dijadwalkan, tapi aku berusaha tak menggubrisnya sebab keluarga Lintang memperlakukanku seperti saudara Lintang sendiri.

Tiap pekan aku memang sering meluangkan waktu untuk mengunjungi keluarga Lintang, keluarga kita juga sudah saling mengenal. Ibuku dan mamanya Lintang sudah berteman baik sedari tahu kami dekat. Tentang ibuku yang tidak melarangku dekat dengan Lintang? Sebenarnya bukan tidak melarang, aku yang selalu meyakinkan hubungan positif ini ke mereka, mereka juga punya aturan-aturan yang tidak boleh kulanggar selama berjalan lima tahun ini dengan Lintang. Mereka mempercayaiku dan aku berusaha untuk tidak merusak kepercayaan mereka. Toh, ibuku dan mamanya Lintang turut mengambil peran menjaga agar langkah kami tidak keluar rute, jadi apa yang mesti mereka takutkan? Mereka sendiri yang mengawasiku!

Pokoknya tidak ada tuh cerita aku dan Lintang di ruangan tamu mengobrol mesra-mesraan atau bercanda tidak jelas. Tante Yuni, mama dari Lintang, bahkan tak memberi ruang untuk kita melakukan hal tersebut. Paling kerjaku mengobrol saja di dapur dari masalah perempuan biasa sampai ke pribadi masing-masing dengan Tante Yuni.

Lintang sendiri, ya, dia kadang di kamarnya bermain game, mengusili Dinda—adik perempuannya, dan memijat atau bermain catur dengan Papanya kalau sudah pulang. Sedang aku, kadang ditelantarkan juga di rumahnya, niatnya agar aku bisa lebih leluasa membaurkan diriku dengan keluarganya meski tak ada Lintang sekalipun. Ya, sangat-sangat tidak seperti dua orang yang berteman selama lima tahun.

“Tante,” panggilku kala suasana dapur sedang sunyi-sunyinya tanpa obrolan. Aku saat ini tengah mencucikan piring-piring kotor bekas sarapan mereka dan Tante Yuni tengah mengaduk centong sayur nangka.

“Lintang itu … aslinya gimana sih, Tan?” lirihku sedikit merendahkan suara, takut terdengar di telinga manusia yang ingin dibahas ini.

“Lintang? Lintang gimana ya? Coba kamu dulu yang ngasih tahu deh dia orangnya gimana! Kalau ada yang beda, nanti Tante kasih tahu versinya Tante,”

Hadeh, tunggu sejenak aku harus berpikir dulu. Sampai aku salah bicara sedikit bisa terdepak statusku sebagai calon menantu, tapi kurasa tidak akan sampai didepak juga sih, di mana Lintang hendak mencari perempuan yang siap memakan garam bersamanya kelak.

Eaaa.

“Sama aku sih dia baik, terus … bisa diatur gitu, Tan. Kalau di rumah dia gitu juga nggak?”

“Kalau di rumah dia bisa diatur sama Papanya aja, soalnya takut, hehe, kalau sama Tante juga dia nurut, asal disuruhnya tuh pas dia lagi nggak main aja,” katanya.

“Hm, gitu.”

“Pernah nyebelin nggak Lintang sama kamu?” tanya Tante Yuni berbalik menanyaiku.

“Sering banget, Tan. Paling sebel kalau dia tuh bahasnya aneh, udah aneh ngotot lagi, kaya kemarin di mobil dia bahas kerjaan, katanya gimana  kalau gaji kerjaan istri lebih gede dari suami? Nikah aja belum, dia udah mikir gaji!” celotehku tidak kira-kira membahas hal kemarin.

Tante Yuni sampai tertawa lucu mendengarnya. Lebih tepatnya sih malu, anaknya terlalu semangat membahas hal yang sangat jauh di depan.

“Maksudnya mungkin baik pengen mikirin semuanya dari sekarang, tapi ngomongnya jangan ke kita juga, orang malulah ditanyain gitu,” lanjutku masih gemas sembari membilas piring-piring tersebut.

Nggak Mau Pacaran LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang