Bucin 14: Faya & Deandra

45 10 1
                                    

DEANDRA agak panik menyaksikan anaknya yang belum sebulan sudah harus menjalani perawatan di rumah sakit begini. Aku di sampingnya hanya bisa memasang tameng terkuatku menopang Deandra yang tak berdayanya jauh di atasku. Aku tak pernah membayangkan hidupku akan terlibat untuk menyaksikan kehidupan remaja seseorang Deandra, perempuan yang ditipu kilapan dunia serba maju ini.

Naila ditempatkan di ruang rawat inap anak kelas 1, kata dokter yang menangani tadi, Naila terkena gejala kolik, gejala di mana bayi yang menangis tanpa penyebab apa pun. Sebenarnya tidak begitu berbahaya sih, tapi dikarenakan suhu tubuh Naila naik hingga menyentuh 39 derajat, muntah, tubuhnya semakin mengecil, dan ibunya juga ikut panik sakin tidak kuasanya menangani tangis Naila apa pun yang dilakukan, dokter akhirnya menyarankan agar Naila dirawat.

“Nggak apa-apa, Ra, Naila udah ditangani dokter, insya Allah semoga cepat sembuh,” ucapku sembari menyapu punggung Deandra.

“Makasih ya, Na, aku nggak tahu kalau nggak ada yang bantuin tadi,”

“Iya. Kalau gitu aku ke abangku sebentar ya, biar sekalian minta dibawain selimut sama jurnalku sekalian, biar aku temenin kamu malam ini di sini,”

“Aduh, Na, aku jadi banyak ngerepotin kamu, maaf ya, Na,”

“Nggak apa-apa, nanti juga ada kok saatnya aku butuh sama kamu. Kamu tunggu ya, aku keluar sebentar,”

“Iya,”

Kutinggalkan Deandra di ruangan yang menyediakan dua kasur di sana. Kebetulan kasur sebelahnya belum terisi jadi kuputuskan menemani Deandra karena hanya berdua saja dengan Naila. Suatu kebetulan hari ini Bang Harun tidak ke kantor mengingat hari ini adalah hari Kamis, dia ada pengajian rutin yang mengharuskan Bang Harun menukar waktu liburnya di setiap hari Sabtu ke hari Kamis.

“Bang, tolong bawain laptop sama buku yang di meja ya, sekalian bawain selimut juga, aku nginep di sini malam ini,”

“Loh, terus Abang ke Bekasinya sama siapa? Kan malam ini pengin sekalian ke rumah Alma minta nomor handphone ayahnya,”

“Nggak bisa minta langsung di WhatsApp aja gitu, Bang? Deandra nggak bisa ditinggal juga loh,” demoku.

“Kalau Almanya aktif sih insya Allah, Abang berani. Toh cuman minta nomor ayahnya aja bukan mau chat sembarangan. Masalahnya Almanya nggak pernah aktif sepekan ini, kayanya paketnya habis atau mungkin sibuk di rumah sakit, makanya Abang minta tolong ditemenin. Ayah udah minta Abang serius, Dek,”

“Terus gimana dong? Aku nggak mungkin ninggalin Deandra juga kan? Kasian,”

“Gimana ya?”

“Minta tolong yang lain aja, ajak Mbak Nunung gih dia kan udah pengalaman jadi perantara taaruf juga,” usulku terpikir satu-satunya nama Mbak Nunung, dia adik Ibu yang menjadi perantara taaruf dua adik Ibu yang baru-baru ini menikah di awal tahun.

“Nggak enak, Na. kamu mah, Om Tirto ngomong apa kalau ngajak istrinya malem-malem, ke Bekasi lagi. Kalau ngajak Mas Tirto, keramean, entar dikira pengin ngapain lagi ke rumah Alma rame-rame,”

“Banyak mau banget sih, Bang, terus Abang maunya gimana?”

“Kok jawabnya gitu?”

“Ya, habis … Ana udah pusing banget, Bang. Banyak pikiran!”

“Mm … apa minta tolong Lintang aja kali ya?” usulnya tidak kalah, senyumku berhasil diluruhkan mendengar  nama paling dominan dalam kepalaku. Seolah bumi sengaja menimpakan semua masalahnya kepadaku.

“Ya kalau nggak sibuk sih, silakan aja minta tolong,”

“Na, kok jawabnya kaya gitu sih? Nggak solutif banget! Bantuin kek,”

Nggak Mau Pacaran LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang