SIANG terik ini, kuputuskan mempertemukan Faya juga Deandra di ruang rawat inap Naila. Setelah obrolan terjeda sore kemarin, Naila tiba-tiba rewel yang memanikkan Deandra lagi, aku jadi berpikir untuk mengundang Faya bergabung dengan kita. Aku tahu Faya sedang terpuruk juga, tapi kita berdua butuh bantuannya, selain karena pemahaman dia lebih luas mengenai kesehatan, aku juga tak bisa banyak membantu Deandra disebabkan tugas-tugasku.
Bermodalkan uang sisa saldo dari membeli referensi buku baru, kujemput Faya di kosnya untuk bergabung bersama kita di rumah sakit. Mereka berdua bahkan ikut begadang menemani tugasku yang selesai di jam larut, lalu sisanya digunakan untuk bercerita sekaligus merangkap jadi pengasuh Naila.
Ngomong-ngomong untuk ruangan yang ditempati Naila sekarang, jelas aku tak menggunakan uangku, melainkan uang Bang Harun. Uangku mana cukup, dan berhubung sebelumnya aku sudah pernah bercerita sedikit tentang Deandra, jadi Bang Harun mau-mau saja menolong.
Kini ruangan jadi berembus sepi kala kami duduk bertiga di kursi panjang yang tersedia di sana. Tak ada lagi rahasia di antara kami, Deandra dan Faya sudah mengetahui masing-masing masalah mereka yang kurang lebihnya serupa, juga aku yang mengambang tak jelas sekarang.
Sekarang tiba giliranku yang menceritakan kira-kira jalan mana yang harus kutempuh. Kucoba hendak menerusterangkan bahwa aku merasa baik-baik saja selama ini, Lintang mengerti batasan di antara kita, andai pun Lintang punya niatan yang buruk pasti sudah sejak dulu ketahuan.
Pun di lain sisi aku harus mengatakan bahwa semua yang kulalui sekarang adalah sesuatu hal yang salah, kedua temanku berujung naas seperti ini juga karena mengawali segalanya dari sesuatu hal yang salah. Lalu, haruskah aku melepas Lintang dan membiarkan dia bebas hendak memilihku kah atau menemukan yang lain kala dia benar-benar kulepas?
“Lintang lulusnya sisa dua tahun lagi, kan?” tanya Faya lepas kupaparkan problem-ku, kemudian kuangguki, “Tunggu aja, udah nggak lama lagi itu,”
“Agak ngebingungin sih, Na, soalnya jaminannya tuh masa depan. Kalau sampai salah dikit, nyeselnya seumur hidup,” tambah Deandra juga.
“Jadi menurut kalian gimana, lanjut atau berhenti? Aku beneran butuh jawaban dari kalian. Otak aku udah nggak bisa nampung, sedangkan waktu terus berjalan,” tuturku benar-benar berharap penenang dari jawaban mereka.
“Gimana, Ndra …? Keluarin dong pesona psikologimu, haha,”
“Kita nggak bisa ngandelin ilmuku kali, Fay. Sarjana aja belum tentu bisa ngasih jawaban pasti apalagi kita yang masih semester berapa gini,”
“Aku makin pusing, Ra, Fay,” keluhku kembali mengambil perhatian keduanya.
“Hmm … gini deh, gimana kalau kamu introspeksi dulu, Na. Kalau kamu emang ngerasa yakin Lintang ngejagain kamu, kalian udah saling kenal kepribadian masing-masing, hubungannya udah dapet, keluarga udah tahu, nggak ada salahnya untuk kamu coba memperjuangkan dulu,” sahut Deandra lagi yang akhirnya memberikan pendapat sungkannya. Entahlah, apakah dia melupakan kalimatnya sore kemarin untuk tidak menaruh harapan pada lelaki yang tidak jelas.
Kecuali jika dia menganggap Lintang adalah lelaki yang jelas atau mungkin menganggapku baja yang bisa menaklukkan kaca sejenis Lintang.
“Setuju. Ini kan cuman soal waktu, Na. Jujur kita berdua juga nggak mau kamu bernasib sama kaya kita, kita nggak bisa mem-filter orang lain sampai akhirnya kaya gini. Sedangkan, kamu udah nemu orang yang terbukti dari lima tahun silam. Nggak ada salahnya untuk kamu perjuangin, sisa dua tahun loh, nggak bakal lama. Kalau sampai dilepas, udah nggak ada kepastian kamu ketemu yang kaya Lintang dan nggak ada kepastian juga Lintang akan balik sama kamu, bisa aja dia menemukan yang baru?!” tambah Faya juga yang rasanya sudah sangat cukup sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nggak Mau Pacaran Lagi
Teen FictionIni hanya kisah perbucinanku yang begitu mencintai Lintang, meski ... dengan jalan yang salah :) -Ana 🎀 Aku yang terbekali dengan keluarga berlatar religius serta pendidikan kedokteran membuatku merasa dibentuk menjadi pribadi yang harus siap dala...