BANDUNG, pukul tengah hari.
Kalau tadi Faya yang bertempur dengan segala bukti nyata bahwa apa yang Faya bawa bukan sebuah kebohongan, sekarang menjadi giliranku yang bertempur. Kalau yang dihadapi Faya hanya ayah, ibu, dan keluarga Faro sampai pagi tadi Faro meng-iya-kan diseret ayahnya bertanggung jawab di KUA, aku harus menghadapi keluarga Faya yang sama sekali belum pernah kutemui.
Ya, aku sudah di depan rumah Faya, rumah ber-cat kuning lembut dengan pohon mangga lebat di dekat pagar. Aku diminta masuk ke sana meminta beberapa berkas sebagai persyaratan permohonan menikah di KUA. Faya tidak mungkin tampil lagi di dalam sana mengingat keluarganya masih amat kecewa, itu artinya tidak ada lagi yang bisa diharapkan selain aku seorang.
Ya Allah, semoga mentalku kuat diusir mentah-mentah nanti.
"Bismillah, doain aku, Fay,"
"Semangat, Na," Air mukanya nampak tidak kalah berdebar. Kutinggalkan dia sendirian di dalam mobil dengan beranjak memasuki area rumahnya, rumah yang menjadi saksi tumbuh kembangnya menjadi putri yang penurut sebelum mengenal pergaulan bebas.
Kuketuk pintu rumah ini sungkan, salamku menggema dua kali di luar hingga sosok lelaki bergaya khas anak jenius dengan kacamata tebalnya muncul di hadapanku, mungkin ini dia sosok yang suka Faya ceritakan bahwa dia yang suka melindungi Faya dari tindakan bullying yang dilontarkan lingkungannya dulu.
"Cari siapa?" tanyanya setelah menjawab salamku dan aku berusaha untuk tidak tersenyum bego sekarang.
"Ibunya ada?" kataku.
"Ad-ada," Dia jadi ikut gelagapan, maniknya menyelidik dari puncak kepalaku hingga ujung kaki, mungkin tengah mencari tahu sejak kapan ibunya punya teman seusiaku begini.
"Boleh saya ketemu?"
"Iy-iya, Silakan masuk," Aku akhirnya dituntun masuk ke dalam, bersyukur sekali aku masih diizinkan menapak di ruang tamunya. Sembari kutunggu dia memanggil ibu Faya, mataku benar-benar dibuat terperanga dengan ruang tamu yang kusaksikan. Pernah liat ruang tamu orangtua dari youtuber Alsyad Ahmad? Kurang lebih seperti itu.
"Ma, kok Mama nggak bilang anaknya Tante Intan sih? Tahu gini, perjodohannya nggak dibatalin!"
Tunggu, tunggu, ada suara tidak ada wujud, apa-apaan ini? Pandengaranku jadi berkeliling mencari sumber suaranya, meski yakin sumbernya tidak dari ruang tamu. Bikin deg-degan saja, mereka pasti semakin dekat.
"Kan dibilang lihat dulu, jangan asal main tolak, kamu ini nggak ada bedanya sama adikmu, seneng banget liat Mama kec-" Mendadak kalimat dari seorang wanita dengan pakaiannya tengah dibenarkan, tertahan. Dia menatapku aneh sebelum kembali pada sosok lelaki muda di sampingnya.
"Ini bukan anaknya Intan, Jov," desisnya, tapi masih mampu kudengarkan.
"Terus?"
"Assalamualaikum, Tante," kataku yang sigap mengulurkan telapakku untuk bersalaman, dia turut saja punggung tangannya kucium lalu kembali diminta duduk bertiga dengan anaknya. Aku di sini masih beku, entah harus memulainya dengan kalimat apa.
"Maaf, Nak, ada perlu ya cari Tante?" tanyanya, dan yap. Ini waktuku!
"Saya Ana, Tante. Saya ... teman kampus Faya dari Jakarta, saya-"
"Saya nggak punya anak namanya Faya, maaf Anda salah rumah!" ujarnya yang mendadak meluruhkan senyum, aku bak ikut dibencinya.
"Saya ... tahu, Tante kecewa dengan apa yang Faya perbuat, tapi saya dateng memohon ke Tante, untuk tolong bayi Faya kali ini. Dia butuh hidup dan status yang jelas, Tante. Tolong," pintaku memohon ikut menyatukan telapak amat berharap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nggak Mau Pacaran Lagi
Teen FictionIni hanya kisah perbucinanku yang begitu mencintai Lintang, meski ... dengan jalan yang salah :) -Ana 🎀 Aku yang terbekali dengan keluarga berlatar religius serta pendidikan kedokteran membuatku merasa dibentuk menjadi pribadi yang harus siap dala...