“ASSALAMUALAIKUM,” ucapku sesampainya di rumah Lintang sekarang. Lenganku cepat terulur kepada Tante Yuni dan Om Baskara yang sudah di rumah juga untuk kusalami.
“Waalaikumussalam warahmatullah wabarokatuh. Ya ampun anak Tante … ke mana aja selama ini?” Tante Yuni langsung mendudukkanku di sampingnya. Sepertinya dia sudah rindu berat sampai Om Baskara rela dipunggungi, agak menyerong ke arahku.
Lintang sendiri tak ikut duduk, dia tidak punya ritual sepulang kuliah langsung duduk mengobrol dengan orang rumah. Kamarnya adalah tujuan utama untuk mengganti pakaiannya segera lalu ke ruang makan. Begitu sejak dulu.
“Kemarin kan ketemu juga, Tante,”
“Kemarin mah sebentar, nggak puas ngajakin ngobrol,” katanya lagi.
“Gimana kuliahnya, Na?” sahut Om Baskara ikut menengahi juga.
“Alhamdulillah, Om,”
“Lulusnya masih lama?”
“Hehe, gitu deh, Om. Preklinik masih dua tahun lagi, koas setahun, dapet gelar dokter, internship lagi setahun, baru deh bisa praktik,” terangku.
“Ya ampun, masih lama dong punya mantunya?”
“Aku mah terserah Lintang, Om. Kalau dia serius tahun ini juga aku nggak masalah,” balasku enteng-enteng saja.
“Emang nggak ganggu nanti? Kedokteran kan ketat,”
“Hehe, lebih ketat Lintang kayanya, Om,” kataku tersenyum kecut.
“Kok ketat Lintang? Emang kedokteran sekarang udah gampang ya?”
“Aku sekarang masih bisa mikir ke jenjang nikah, Om, kalau Lintang beneran nggak bisa. Ya udah positive thinking aja mungkin Lintang tugasnya lebih banyak jadi harus tunggu dia wisuda dulu,” ucapku. Lintang memang sama sekali tak bisa diharapkan hendak apa selanjutnya, aku saja bingung hendak digiring pada jalan yang mana sebenarnya. Dia tahunya jalan saja terus, entah dia tahu atau tidak kakiku sudah berdarah-darah menemaninya selama ini.
“Ya ampun bikin malu banget si Lintang, Ma. Masa perempuan yang disuruh nunggu,” adu Om Baskara kepada si istri dan tak lama Lintang ikut turun dari kamarnya hendak ke meja makan.
“Lintang …! Kamu ngapain nunggu wisuda buat nikahin Ana doang?” tegur Om Baskara kepada manusia tak mengenal dosa itu mendarat dari tangga lantai atas.
“Bukan gitu, Pa, Lintang mikirin juga kalau masih sama-sama sekolah ngapain nikah dulu? Kalau nanti udah selesai kuliah terus punya kerjaan kan apa-apanya Ana jadi tanggung jawab Lintang,” tuturnya melewati kursi tempat kami duduk memasuki meja makan.
“Kalau nikahnya sekarang kan nggak lucu, masa Lintang nyuruh Ana dibiayain kuliahnya masih sama Om Umar padahal udah punya suami. Jadi mending sekalian sabar aja sampai Lintang wisuda, punya kerjaan, terus baru deh nikah,” lanjutnya lagi dari dalam dapur sana.
Rasanya aku jadi seperti mengadu.
“Jadi kalau Ana ada yang berani lamar duluan gimana?”
“Ana pinter kali, Pa, masa dari SMP sama aku, nikahnya sama yang lain?” balasnya lagi seperti sudah menyantap makanannya di sana.
Kok jadi menyebalkan sekali ya mendengar Lintang sekarang? Sekalipun kalimatnya ada benarnya sih, tapi apa dia akan terus menabung dosa hingga dua tahun ke depan? Bagaimana kalau dia meninggal sebelum dua tahun nanti? Sudah tidak sempat menikah, tabungan dosanya menumpuk lagi.
“Tapi beneran kan kamu serius sama Ana? Jangan sampai Ana udah nungguin juga, kamu cuman bercanda,”
“Ya ampun, Pa, acara komedi aja bercandanya paling lama dua jam, lah ini bercanda lima tahun. Ya kali?!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Nggak Mau Pacaran Lagi
Teen FictionIni hanya kisah perbucinanku yang begitu mencintai Lintang, meski ... dengan jalan yang salah :) -Ana 🎀 Aku yang terbekali dengan keluarga berlatar religius serta pendidikan kedokteran membuatku merasa dibentuk menjadi pribadi yang harus siap dala...