Bucin 10 : Obrolan Salon

65 9 1
                                    

HARI berlalu, pekan berlalu, setelah menjadi bidan dadakan namaku seketika melejit di seantero sudut gedung fakultasku. Beberapa jurnalis kampus juga sempat mendatangiku untuk meminta beberapa informasi. Namun, sebagai sesama manusia dan sesama perempuan, aku tetap menutup mulut setiap yang mereka tanyakan menyangkuti nama Deandra dan segala hal yang menyudutkan masa lalu Deandra.

Deandra memang salah, namun kehadirannya sekarang bukan untuk disinisi, digunjingi, dan dikucili. Tak akan ada yang berubah selama respon kita sebagai orang lain selalu negatif kepadanya, justru akan semakin memperburuk suasana dia sebagai yang dituding bersalah. Cobalah sekali, beri dia kesempatan terlihat lebih baik sekalipun hanya di mata satu orang, hal tersebut mungkin bisa merubahnya sedikit demi sedikit.

“Pantes waktu itu kamu nggak mau ditemenin, mau jadi bidan ternyata,” celetuk Lintang selepas dia menyaksikan beberapa jurnalis menahan langkahku di parkiran tadi, dan sekarang aku sudah di mobil Lintang hendak menepati janji, dia meminta untuk ditemani facial wajah dan aku tak punya jawaban untuk menolak ajakannya mengingat aku masih sanggup menepati, juga yang memintanya adalah Lintang.

Sepanjang usiaku, date terbaikku dengan Lintang memang hanya di mobil. Semenjak kuliah Om Baskara sudah memfasilitasinya mobil setelah mempertimbangkan Lintang yang kuliahnya di Jaksel, sedang aku di Salemba, Jakarta Pusat. Kadang juga kalau ada urusan penting di kampus utama Depok biasanya dia yang akan mengantarku. Lumayan kan panasnya membakar kulit kepala dia bila mesti membawa motor keliling Jakarta.

Kali ini dia tidak bisa lagi mengakali untuk satu habitat lagi, tidak ada Jordan kedua yang siap berbaik hati menukar posisinya yang bahkan berbeda kampus denganku, jadi sebisanya dia pasrah mengantarku ke mana-mana.

Sebenarnya agak tidak enak sih jika setiap pulang pergi Lintang selalu menungguku, ke mana-mana pasti selalu menawarkan diri mengantar, kadang kalau tidak enak hati ponselku biasanya kumatikan supaya tidak bisa ditanya sedang di mana. Tahu-tahu dia bisa tahu sendiri, macam punya GPS yang diselipkan di antara organ tubuhku.

Pernah satu waktu, jaman Alisha masih delapan bulan kandungan, Ibu minta tolong dicarikan perlengkapan bayi, tidak enak dong minta ditemani Lintang yang baru pulang dari Monas, tepat di sisi timur Monas yang sejajar dengan stasiun Gambir ada tempat latihan basket yang sering banget Lintang kunjungin tiap weekend, kadang sampai malam mainnya. Nggak enak dong dia capek habis main, datang-datang aku minta ditemani.

Dia jelas tak punya jawaban untuk menolakku, maka aku yang mesti tahu diri tidak merepotkannya. Tapi entah dia punya ilmu gaib apa, ketika ponselku diaktifkan tiba-tiba saja dia kirim video paparazinya yang mengikutiku dari toko perlengkapan bayi sampai naik taksi pun di video juga. Pasti habis bertanya ke Ibu atau Bang Harun lagi.

Semenjak kejadian itu, aku berusaha untuk menolaknya terang-terangan saja ketimbang merepotkan dia yang membela-belakan mengikuti macam intel sungguhan begitu. Kadang pertengkaran kecil-kecilan datangnya dari sana. Aku tak tahu kita jadi sering banget berantem sekarang.

“Allah yang takdirin aku ke sana pas detik-detik lahiran, Lint, aku mana tahu hari itu Deandra udah mau melahirkan, aku tahunya cuman pengen kenalan aja di rumahnya,” paparku pada jawaban tebakannya tadi.

“Terus, terus? Susah nggak jadi bidannya?” tanyanya lagi antusias seperti penasaran akan keahlian abal-abalku.

“Biasa aja,”

“Dih, sombong!”

“Bener kali. Orang cuman nyuruh narik napas doang habis itu tungguin, udah. Keluarnya juga gampang banget keliatannya,”

“Tapi kok kata Mama ngelahirin susah. Kalau diomelin Mama, aku kadang disuruh mikir katanya ngelahirin anak-anaknya udah kaya tulang-tulangnya dipatahin bareng-bareng,”

Nggak Mau Pacaran LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang