Beres melaksanakan ibadah Dhuhur, aku segera kembali ke luar menemui tamuku yang sudah diseduhkan minuman orange di meja. Sepertinya Ibu yang menyiapkannya. Aku jadi lupa tadi.
Hehe, efek gerah.
"Abis ngapain sih, Na, sholatnya masa setengah jam?" demo Lintang selepas aku tiba di depannya.
"Tadi aku mandi sepuluh menit, sholat sunnah lima menit, sholat Dhuhur sepuluh menit, sisanya dzikir terus doa,"
"Masyaa Allah, jadi ngerasa beruntung entar punya pendamping sholihah gini," celetuknya.
"Sholihah mana ada yang pacaran. Nikahin, Lint! Nikahin!" ketusku terpancing kalap lagi sembari mengambil alih Alisha.
"Iya, nanti kan. Makanya kamu doa terus semoga cepetan wisuda terus nikah beneran,"
"Doa doang nggak cukup, Lintang, harus pakai usaha!"
"Iya, ini kan masih usaha biar cepet, habis itu baru deh," katanya lagi mencari pembenaran.
"Oh iya, kemarin aku bilang mau ngasih sesuatu kan ya?" sambungnya lalu beralih topik pembicaraan. Bukannya teralih, aku malah terpancing semakin meledakkan sumbu emosiku.
"Kamu tuh kenapa sih, kan aku udah bilang jangan suka ngasih sesuatu kalau—"
"Tenang, Na, aku beli barang ini nggak pakai uang Papa atau Mama kok, ini beneran uang sisihan aku dari temen-temen yang minta tugasnya di-print gitu terus nanti aku dibayar," sergahnya.
"Terus? Motivasi uangnya dibeliin sesuatu buat aku apa? Aku kan nggak minta,"
"Ih, kalau nunggu kamu yang minta duluan, udah dipastiin nggak bakalan ada pemberianku di kamu. Coba kamu liat dulu mau dikasih apa, jangan langsung marah gitu," balasnya ikut terbawa suasana. Aku langsung menarik napasku mengikuti arahannya agar tak hipertensi dulu.
"Ya udah mana coba kulihat?" kataku.
"Tapi harus temenin aku dulu, ya. Aku udah izin Ibu kok tadi,"
"Ke mana lagi?" ucapku sedikit lagi akan benar-benar muak.
Kita bahkan baru tiga puluh menit lalu berbaikan dan dia sudah berulah mengajakku ke mana-mana lagi.
"Nyari buku doang, Na. Kamu kan tahu aku paling nggak bisa ke mana-mana sendiri, harus ada yang diajakin ngobrol gitu. Mau ya?"
"Ya udah, iya. Tapi Alisha boleh dibawa kan?" tawarku memasrahkan dia hendak apa. Telingaku sudah cukup gerah mendengarnya menyumbat terus dua hari ini.
"Terserah kamu, mau bawa Ibu juga nggak apa-apa asal temenin,"
"Bentar aku izin Ibu dulu kalau gitu," kataku segera masuk ke dapur menemui Ibu hendak meminta izin seperti biasanya.
Aku tahu sih Ibu akan mengizinkan asal sesuai perjanjian saja. Pulangnya tidak boleh kesorean dan bisa jaga diri. Gampang kan.
Aku lalu segera kembali membawa izin Ibu menghadap Lintang, bedanya Ibu tidak ikut, siapa yang menjaga rumah kalau Ibu ikut juga.
Oke, baiklah. Kita berangkat sekarang.
"Mau liat sesuatunya nggak?" sahutnya lagi tatkala sudah di perjalanan menuju Grand Indonesia, tempat yang tidak ada bosannya dikunjungi, hendak mencari sesuatu yang katanya dia butuhkan itu.
"Mana?"
"Tuh di belakang, tapi liatnya nanti kalau udah nyampe aja, aku masih nyetir," katanya lagi.
Dari ujung lirikanku sih aku belum bisa menebak isi paperbag tersebut apa, jadi harus kutahan dulu rasa penasaranku hingga ujung dari tuju jalan ini tiba.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nggak Mau Pacaran Lagi
Ficção AdolescenteIni hanya kisah perbucinanku yang begitu mencintai Lintang, meski ... dengan jalan yang salah :) -Ana 🎀 Aku yang terbekali dengan keluarga berlatar religius serta pendidikan kedokteran membuatku merasa dibentuk menjadi pribadi yang harus siap dala...