Move On : Kelas Kedokteran

72 8 0
                                    

HARI-HARIKU kini harus kumulai dengan kisah yang baru lagi. Kisah tanpa bayang yang amat tinggi, hendak ini dan itu sampai aku lupa bahwa aku hanya tengah membayangkan. Tidak berkesempatan merasakannya langsung.

Mentari pagi kini mulai memanas bersama senyum yang kian kupaksakan untuk melebar, memang terasa sulit setelah guncangan ombak menghancurkan kapal yang kugunakan berlayar kemarin, namun aku harus tetap ikhlas sebab tak ada yang tahu terdamparnya aku di pulau baru ini akan menemukan hikmah atau tidak. Kali saja Tuhan hendak menunjukkan bahwa di pulau baru ini ada destinasi terbaik yang harus kusaksikan juga.

Segera kuawali pertemuan pertamaku dengan seorang abang Go-Car untuk bersama-sama ke kampus, sedikit meluruskan, aku bukan sombong sebab ke kampus harus naik mobil sewaan terus atau karena terlanjur terbiasa dengan Lintang naik mobil atau apa pun itu. Tidak. Ajaran ibuku sejak dulu memang tak pernah mengizinkan untuk bergoncengan dengan lawan jenisku sedekat naik motor, naik sepeda, dan sejenisnya, kecuali bersama Bang Harun. Jadi, aku memilih alternatif mobil meski ongkosnya sedikit lebih mahal, tapi demi pesan Ibu tetap membumi aku tetap berusaha melestarikannya.

Sudah mulai terbayang, kan, bagaimana kecemasan ibuku terhadapku sebagai anak perempuannya sampai goncengan pun tak boleh bersama orang yang belum tentu juga punya niat jahat kepadaku.

Di sini aku tak menyalahkan Ibu karena terlalu posesif, bagiku semua ibu punya cara mendidik anak-anaknya sendiri sebaik dan seteratur mungkin, dan justru dengan cara seperti ini aku pribadi malah merasa nyaman dan mampu menemukan jati diriku sesungguhnya, mulai dari pertanyaan-pertanyaan aneh macam aku ini siapa? Asalku dari mana? Tujuanku sekarang berada di sini untuk apa? Sampai ke mana kelak aku akan kembali? Aku sudah menemukan segala jawaban dari didikan terbaik orang tuaku. Sekalipun ada part bandel-bandelnya sih kemarin, hehe, tapi tak apa, toh masih belajar.

Berbicara tentang ibu, aku harus memiliki paham yang sama dengan seluruh anak di dunia bahwa ibu adalah raga terbaik yang dititipkan Tuhan kepada kita. Ibu adalah tangan pertama yang memoles kita hendak seperti apa ketika dewasa nanti, ibu yang mengajar, ibu yang mencontoh, ibu yang akan jadi panutan pertama.

Jadi, ketika tiba kesempatanmu menjadi seorang ibu juga, jadilah ibu yang cerdas, jadilah ibu yang paham harus memoles anak-anakmu akan jadi seperti apa.

Tak jarang kan seorang anak menjadi pribadi yang gagal sebab ibu yang kurang pandai dalam mendidik, tak jarang anak menjadi pribadi yang tidak diinginkan sebab ajaran egois ibu yang secara tidak langsung ditiru oleh si anak, dan masih banyak kasus lain yang muncul dari seorang anak sebab madrasah pertamanya yang bermasalah. Aku tak mengatakan semua kasus berakar dari sana, tapi aku yakin keberadaan mereka yang merasa mereka adalah produk gagal salah satunya adalah karena peran keluarga terkhusus ibunya yang masih memberikan edukasi kurang baik.

Hal tersebut merupakan PR untukku juga. PR untuk tidak menjadi pribadi yang sukses di dunia kerja saja, melainkan sukses dalam mendidik amanahku di dalam rumah juga kelak.

"Makasih, Mas," ucapku setelah membayar ongkos pengantaran mas Go-Car tadi lalu keluar menuju ke dalam gedung fakultasku.

Oh iya, aku belum cerita ya tentang pendidikanku? Baik, sedikit kuceritakan bahwa aku adalah salah seorang mahasiswi yang tengah menempuh perkuliahan di fakultas kedokteran. Sedikit informasi bagi adik-adikku yang hendak melanjutkan studi di prodi ini bahwa putusanmu tak salah memilih prodi ini menjadi prodi impianmu kelak. Tapi, perlu kuberitahu satu kutipan yang mengatakan bahwa, 'sebelum menjadi mahatari, kamu harus siap terbakar lebih dulu', dalam artian prodi ini jelas tidak mudah, sebab kita akan sama-sama dibimbing menjadi manusia yang berjiwa sosial tinggi, manusia yang harus digembleng sana-sini untuk dapat menyalurkan bantuan terbaik, dan manusia yang harus siap menurunkan ketinggian apa pun yang dimiliki untuk mengakui bahwa 'saya memang hanyalah calon pelayan masyarakat' yang siap menyerahkan segala kekuatan untuk memanusiakan manusia tanpa memandang agama, ras, suku, bangsa, bahkan kedudukan sosial apa pun. Titik.

Nggak Mau Pacaran LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang