Bucin 4: Meneliti di Bekas Bazar

99 15 10
                                    

Terik matahari mulai meninggi di permukaan langit bagian timur, jam menunjuk pukul 07.12 dan perjalanan menuju kampusku belum juga sampai.

Embusan napas tegangku mulai memanas di rongga dada, dalam bayang-bayang kepalaku sudah tercetak kumpulan hafalan yang rasanya tak kalah membunuh. Lintang masih mending, sistem SKS yang dianut prodinya menyelamatkan dia dari penderitaan yang kualami sekarang. Dia tak pernah merasakan bagaimana rasanya menunggu giliran ujian dari pagi hingga petang dengan ujian yang selalu berhasil membakar hormon adrenal skala kecil.

Sebelum berangkat aku sudah meminta restu Ayah dan seluruh anggota keluargaku agar ujianku bisa berjalan lancar, untuk pekan akhir blok ini, ujian yang akan diujikan adalah ujian tulis dengan jumlah soal berada pada tingkat ratusan ke atas. Rasanya jelas berdebar tak karuan kala bayanganku sudah melihat sosok dosen pengawas di kursinya kelak.

Bismillah, semoga bisa.

“Udah yakin?” sahut Lintang setelah sampai di depan gedung fakultasku sekarang, di sepanjang jalan tadi dia sama sekali tak berani mengangkat topik apa pun. Aku kasihan juga dia sampai membela-belakan mengantarku sepagi ini bahkan masih mengenakan training selutut dan belum mandi. Napasku jadi kian menggila saja di paru-paru, namun tetap berusaha kutenangkan.

Baiklah, tenang, pengawas nanti juga masih manusia dan ini bukanlah kali pertama lagi untukmu, Ana!

Bismillah aja, udah,” kataku.

“Coba sini tangannya dulu, aku tiupin bentar biar nggak gemetaran terus,” pintanya yang tiba-tiba melebarkan telapaknya. Cepat aku menggeleng bak tidak sudi disentuh.

“Enggak usah,” tolakku antusias, “Pokoknya nggak boleh buat dosa hari ini, nanti doanya Ibu nggak jadi sampai ke aku. Aku mending langsung turun aja ya, bye, makasih, assalamualaikum,” lanjutku segera keluar dengan tegangnya.

Waalaikumussalam,” balas Lintang dari dalam, maniknya mengikutiku keluar dari mobil, “Begini deh kalau calon istrinya sholihah, ketemunya malah yang blangsak gini!” gerutunya di dalam sana.

Dan setibanya aku di ruangan kelas, ritual mati-matian belajar dari seisi kelas seketika menyeruak memenuhi ruangan. Seluruh perhatian fokus untuk menampung ilmu sebanyak mungkin sebab sudah memasuki ujian terakhir di blok ini—sebelum kami memulai blok berikutnya setelah libur dua atau tiga hari nanti. Aku hanya berdoa agar ujian kami dilancarkan hingga selesai.

Waktu yang ditunggu tak terasa akhirnya tiba, degupan kencang dada-dada kami mulai mengobar kala sentakan kaki dosen pengawas memasuki ruangan.

Waktu ujian berlangsung dan tumpukan kertas sebejibung ini secara otomatis membakar isi kepalaku. Untung baiknya aku sudah menyicil materinya sehingga masih ada yang melekat di kepala. Aku tak menghafalnya semalaman suntuk, yang ada aku malah mengantuk dan membuyarkan apa yang sudah kuhafalkan.

Jam kian berputar, waktu ujian yang tertera di keterangan menggiringku untuk berpikir masih lama, masih lama, masih lama, dan tiba-tiba tak terasa saja dosen sudah meminta untuk meletakkan alat tulis dan tak menyentuh kertas lagi.

Oke.

Kubereskan kembali alat-alat tulisku dan menunggu sampai dosen keluar. Napas kami harus segera berembus lega setelah kepergiannya agar kami masih bisa tertolong.

Huft …” helaan berat napas seluruh penghuni kelas seketika berdesir lancar kala kepergian dosen tadi menyukseskan akhir dari ujian blok ini.

Dan yang telah ditunggu-tunggu akhirnya tiba! Besok kami bisa bebas dari segala embel-embel kuliah yang kadang dari pagi hingga siang, bahkan tak tanggung-tanggung hingga magrib sekalipun masih mengaitkan kami. Tapi, tidak apa, semuanya punya balasan terbaik setelah selesainya fase terberat ini.

Nggak Mau Pacaran LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang