Reach The Decision

47 9 2
                                    

MASA liburan tak terasa habis juga.

Sudah saatnya kembali menginjakkan kaki di dunia penuh drama praktikum, skill lab, berangkat pagi pulang sore, menghafal mati-matian, serta selamat datang di semester baru.

Selesai sudah cerita liburan yang kemarin kuhabiskan di rumah, mengurus Alisha sepanjang hari, ke rumah Lintang, jalan, bahkan mulai sering menemani aktivitas Lintang setiap weekend latihan, jelasnya aku datang tidak berdua saja kadang dibawakan Dinda atau Alisha untuk mengisi kekosongan menunggunya selesai latihan, dan hanya siklus tersebut saja yang berulang hingga akhirnya hari pertama kuliah sudah tiba juga. Bagi teman-temanku yang kemarin liburan, kita harus berperang lagi!

Meski dari cerita kakak-kakak tingkat di atas kami sudah bersaksi bahwa kita sudah boleh meleha-lehakan semester lima dibanding semester-semester sebelumnya, kita masih harus tetap waspada juga untuk bisa survive hingga selesai. Jangan sampai keenakan menyepelekan, karena semester terberat sudah terlewati, jadi malah membuat keterusan keenakan hingga pertempuran tak selesai sesuai rencana.

Jangan sampai goyah dulu, wkwkwk.

Oh iya, aku juga ingin bercerita bahwa hari ini juga terbilang cukup spesial bagiku, selain ini adalah hari pertamaku kuliah lagi, dua hari lalu juga adalah hari ke-2190, alias enam tahun sudah Lintang menjadi orang yang selalu wah di mataku. Sekalipun badai atau bencana apa pun menerpa hubungan yang sudah semakin akrab ini, aku tetap mempertahankan Lintang sebagai masa depan terbaikku kelak.

“Ana …” panggil Lintang seperti ikut merasakan suasana berbeda belakangan ini. Dia jelas merasakan bagaimana bercampurnya perasaanku tatkala hubungan ini semakin jauh dan kian mendekati keseriusan.

"Iya?”

“Aku boleh nggak ngajakin kamu nanti malem?” tanyanya. Macam hari-hari biasanya kalau ada keinginan dia pasti mengeratkan jemari masing-masing dulu.

“Buat?”

“Aku mau ngajakin dinner. Kita udah enam tahun, tapi makan malam berdua gitu belum pernah,” ucapnya dengan nada membujuknya.

“Harus malam ya, Lint?” balasku memastikan ulang, kali saja dia bisa mengubah waktunya. Kita sudah sama-sama tahu, tidak ada sejarahku diizinkan Ayah keluar malam untuk keperluan yang tidak bermanfaat dan tidak urgent.

“Emang dinner ada yang siang, ya?”

“Ya enggak ada,”

“Ya udah, nanti malam kita dinner ya, aku bakal siapin tempat paling indah buat kamu. Tapi, syaratnya cuman kita berdua. Gimana?” tawarnya bersama senyum yang paling tak bisa kulihat darinya. Manis sekali.

“Lintang, aku bukannya mau nolak, tapi kamu tahu sendiri kan aku nggak bisa keluar malem? Ayah pasti nggak ngizinin, berdua doang lagi,” kataku balik melirih memberinya pengertian.

“Tuh kan kamu kayanya nggak pernah punya pengorbanan deh buat aku. Padahal gitu doang kan bisa diakalin, kamu cukup bilang ke Ayah pengen nginep kerja kelompok di rumah temen, Ayah pasti izinin,”

“Terus aku mau nginep di mana habis dinner? Di kos Faya? Dia kan tinggal bareng suaminya sekarang. Aku malu lah,”

“Hm … gimana ya?” gumamnya lalu berpikir sejenak, “Atau gini deh, nanti malem kamu tinggal dateng aja, urusan tempat nginap aku yang bakal nyiapin tempat yang Ayah nggak bakal dapet kita di sana. Pokoknya aku bakal buat malam ini beda dari hari-hati di lima tahun kemarin. Gimana?”

“Kamu mau ngapain emang malem-malem gitu berdua doang? Jangan aneh deh,” kataku sudah mulai terpancing parno. Tapi, jangan berpikir tidak-tidak dulu, mungkin aku hanya salah paham. Coba dengar lebih lanjut penjelasan Lintang.

Nggak Mau Pacaran LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang