Bucin 7: Harun's Analogy

102 14 4
                                    

Anaaa …!”

Panggilan Bang Harun kian memekik tatkala dia menerobos pintu kamarku. Aku baru saja selesai berpakaian dan dia sudah siap saja.

Hari ini Bang Harun berbaik hati mengajakku ke pabrik tempat kerjanya dengan Ayah, berhubung hari ini adalah hari terakhir liburanku sebelum masuk blok baru jadi kuiyakan saja untuk ikut.

Semenjak lulus sarjana managemen, Bang Harun memang langsung terjun membantu usaha ayah di bagian kantornya. Terakhir kali Bang Harun mengajakku ke sana sekitar setengah tahun yang lalu dan harus kuakui bahwa Bang Harun adalah teman mengobrol terbaik selama perjalanan.

Aku ingat betul, ada satu topik yang pernah Bang Harun utarakan di hadapanku, kebetulan saat itu dia sama-sama hendak mengajakku juga ke kantornya. Dia bertanya tentang apa saja yang biasa kulakukan jika diberi waktu lebih bersama dengan Lintang?

Aku tak ingat jawaban pastiku saat itu, tapi poinnya aku mengatakan bahwa aku akan terus menjaga diriku bahkan kepada lelaki yang tidak seperti Lintang sekalipun.

Dia mengangguk lalu disertai wejangan bahwa adik perempuannya sudah dua, dia tak mungkin bisa mengawal keduanya terus-menerus, sehingga dia meminta bantuanku agar tetap menjaga diriku sendiri untuknya.

Mungkin bagi orang lain kalimat seperti ini adalah kalimat-kalimat yang sangat biasa, apa pentingnya? Tapi buatku ini penting. Karena lelaki menyebalkan seperti Bang Harun akan terdengar sangat mustahil mengatakan hal konyol namun berharga itu. Aku sangat paham maksudnya mengingat diriku yang masih berada pada pusaran kelabilan dalam perihal percintaan.

Dari sejak saat itu, aku sudah mulai mempertanyakan pada Lintang kapan dia hendak menepati janji untuk segera menikah, tanpa niat menyinggung perasaannya bahwa apa yang selama ini dilalui adalah sesuatu hal yang salah. Lintang mungkin memahami status kesalahan tersebut juga, namun antara aku dan Lintang mungkin sama-sama paham bahwa pernikahan butuh persiapan yang tidak sedikit, sinkron dengan perasaan sama-sama merasa tidak ingin kehilangan. Jadilah hubungan ini tetap berjalan bahkan menginjak setengah dasawarsa.

Laju mobil melejit melewati jalur perjalanan yang dikendalikan Bang Harun, dan entah aku tiba-tiba merindukan obrolan tanpa percekcokan seperti aku yang masih di bangku SMA dulu dengan Bang Harun.

“Bang, aku punya temen di kampus, katanya dia punya temen juga,” sahutku mengawali pembicaraan kita.

“Kamu mau ngelawak?” balasnya, agak menunggikkan sebelah alisnya menghadapku di jok penumpang.

“Serius kali, Bang,” kataku.

“Coba kamu ngomong yang jelas, kamu punya temen terus dia juga punya teman, gitu?”

“Iya. Berarti temennya bukan temenku kan?”

“Ngomong apa sih, Na? Bingung deh,” melasnya tak paham.

“Gini loh, Bang, intinya aku mau nanya, kira-kira gimana cara kita menilai laki-laki nggak dari mukanya aja? Misalnya nih ya, Bang Harun kan nggak ganteng-ganteng amat tuh, tapi kalau udah kenal ternyata Abang aslinya baik banget. Ada juga orang yang luarannya keliatan ganteng, baik-baik, ternyata isinya buruk. Itu gimana tuh, Bang?” uraiku, sedikit litotes. Aslinya Bang Harun punya paras yang lumayan, kalau aku bukan adiknya kemungkinan Bang Harun adalah sosok yang pas untuk kujadikan bahan pembalasan atas segala yang Lintang lakukan kemarin.

“Terus hubungannya sama temen-temen yang bukan temen kamu itu apa? Kok pertanyaannya nggak nyambung banget?!”

“Mm, bentar ya, Bang ... ini aku mau nanyain aja, siapa tahu ada yang bisa dipelajari, cuman jangan sampai ada yang kehitung ghibah sih, hehe. Jadi gini, tadi aku kan bilang temenku punya temen tuh, nah temennya temenku ini ternyata … hamil. Yang memperbuat juga bukan orang jauhnya, keliatan baik-baik, dan semua orang ngerasa nggak nyangka gitu. Kira-kira menurut Abang gimana cara kita biar aman dari orang yang cuman tampangnya doang kelihatan baik?” terangku memperjelas pertanyaanku.

Nggak Mau Pacaran LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang