HARI berlalu serta masalah baru kembali menimpaku. Bukan padaku sih, lebih tepatnya pada sahabatku, Faya. Lepas mengetahui dia sudah kembali dari Bandung aku segera menyusulnya lagi tanpa diketahui siapa pun termasuk Lintang.
Ketika kutemui Faya di kosnya, raut penuh duka seketika menyelimuti, seluruh sudut rumahnya bagai menggelantungkan barang horor sehingga tangisnya kian pecah begitu melihatku datang, dia seperti menemukan sepasang telinga yang siap ditempatinya mengadu bahwa dia tak aman sekarang.
Aku tak bisa menggambarkan semenyesal apa Faya sekarang, namun dari pelukannya yang kian menghangat padaku membuat seluruh relungku teriris. Faya yang kemarin kusangka selalu membenci ibunya kini menunjukkan bahwa dia sangat takut kehilangan sosok yang peduli itu sekarang.
Tidak usah pada ibunya, padaku dulu yang tak punya hubungan darah dengan Faya pun merasa ini adalah hal yang sulit kuterima. Namun, jika bukan aku, siapa lagi yang akan diharapkan Faya untuk menerimanya sekarang.
“Aku pinter kali, Na. Nggak dibilang juga aku pasti antisipasi kali,”
Masih ingat kalimat Faya hari itu? Ya, sekarang dia mengingkarinya. Dia mengecewakan banyak orang seperti halnya Deandra. Bahkan pada diri Faya sendiri pun merasa kecewa kala ibunya berhasil dibuat shock dengan hasil kesehatannya kemarin.
“Aku nyesel, Na … aku nyesel …” lirihnya diselimuti tangis yang hanya bisa kubalas dengan menyapu punggung Faya.
Ini benar-benar di luar prasangkaku, lisanku bahkan tak tahu harus mengatakan kalimat apa lagi.
“Na, kamu nggak akan tinggalin aku kan, Na?” lirihnya melepasku sebentar dengan mata sembab serta suara sumbangnya. Pandangan kami bertemu di udara yang mulai memanas ini, benakku berempati merasakan kehancuran yang Faya alami.
“Enggak, aku nggak akan tinggalin kamu, Fay,” kataku kini berani meyakinkannya.
“Aku janji, Na, aku pasti akan desak Faro,”
“Iya, Fay. Aku akan selalu dukung kamu, asal kamu janji, kamu nggak akan ngelakuin kekhilafan yang sama lagi,”
“Aku janji, Na. Aku janji …” katanya lagi tak berhenti menangis.
Aku lalu melepas pelukan Faya dan membiarkan kuliahku hari ini berlalu begitu saja. Percuma juga aku masuk kalau fokusku tetap tertuju pada tempat yang kuhuni sekarang. Kami lalu duduk bertiga, aku, Faya, dan janin di perut Faya, dia menceritakan kejadian awal yang menjerumuskan Faya ke lubang penyesalannya tersebut.
Tak bisa dipungkiri bahwa akan ada opsi seperti ini yang diprediksikan akan terjadi. Faya sejak dulu memang memiliki banyak sekali teman dari kalangan lawan jenisnya, mereka sering berkumpul setiap pulang kuliah bahkan sampai larut malam sekalipun, menurut penuturan Faya sendiri. Aku tak tahu apa yang mereka obrolkan sampai bisa bertahan hingga malam begitu, jelasnya Faya mungkin merasa lebih hidup di sana.
Hingga akhirnya, tiba suatu kejadian yang menurutnya tidak masalah namun ternyata hal tersebutlah yang berhasil merenggut semua hal yang dia miliki. Keluarga, kehormatan, harga diri, nama baik, sirna dalam satu waktu yang singkat.
Bagaimana bisa hal tersebut bisa dikatakan cinta, sedangkan cinta harusnya memuliakan bukan malah dia yang mengobrak-abrik hidup si empunya.
Kini, aku harus menjadi seorang yang lebih kuat menangani dua temanku yang menyandang gelar ibu kelak. Deandra dan Faya.
Menjadi yang terkuat di antara dua temanku yang kemungkinan mengalami tekanan masa lalu yang menuntunnya pada kalimat “penyesalan”.
Pagi hingga menjelang sore, aku tetap tertahan di kos Faya hendak menenangkan emosinya, beruntung aku tak terlambat, atau kalau tidak, hal yang paling tidak kuinginkan mungkin akan memperburuk keadaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nggak Mau Pacaran Lagi
Teen FictionIni hanya kisah perbucinanku yang begitu mencintai Lintang, meski ... dengan jalan yang salah :) -Ana 🎀 Aku yang terbekali dengan keluarga berlatar religius serta pendidikan kedokteran membuatku merasa dibentuk menjadi pribadi yang harus siap dala...