Bucin 12: Keluarga Besar Lintang

81 9 2
                                    

HARI pernikahan Kak Akbar dan Kak Dhila tiba.

Pernikahannya berlangsung di Ciputra Artreneur, berada tepat di pusat bisnis segitiga emas, Kuningan, Jakarta. Dikarenakan ada kuliah, Lintang harus cepat-cepatan menjemputku di Salemba, beruntung ada kos Tifah dekat kampus jadi aku bisa numpang siap-siap sekaligus menggunakan jasa abal-abal Tifah yang me-make over mukaku macam aku yang menikah.

Ingin sekali menangis melihat pipiku terkesan merah-merah tersipu, lipcream berwarna nude, beruntung alisku tak diapa-apakan! Aku bukan tak suka dandan, ya … masalahnya mulut Lintang setiap melihat yang aneh tuh bawaannya suka cerewet.

Lihat bagaimana reaksinya melihatku nanti!

“Ahahaha ... Na?! Ini kamu, Na?! Kamu dandan? Ahaha,” tawanya meledak seketika tatkala tiba waktunya melihatku tersenyum datar di depan mukanya.

“Malu ah, nggak usah pergi. Nyesel aku percaya si Tifah!” dumelku mengaitkan lenganku di depan dada sebal.

Ugh, tayang, tayang … jangan manyun dong, cantiknya nanti ilang,” rayunya belum puas juga cekikikan.

“Udah ah, anter aja pulang. Aku males dateng kaya gini,”

“Loh, harus dateng dong. Udah cantik masa nggak dateng, mau kenalan sama Oma kan? Ayo sekarang kita mending berangkat, keburu beres entar acaranya nih. Hayuk, cantiiik ...” bujuknya segera menggiringku ke mobil.

Kemudinya lantas dipercepat mengingat kita sudah sangat terlambat. Sedang aku sendiri? Mukaku masih benar-benar tidak enak di sepanjang rute jalan Rasuna Said, ditambah berisik dari sebelahku yang tak ada pegal-pegalnya bicara sambil tertawa. Benar-benar si Tifah, katanya natural, natural. Mana ada natural seperti ini?

Tahu begini mending aku tampil natural versiku.

Begonya aku karena lebih percaya kemampuan orang lain ketimbang kemampuanku, dan bodohnya karena kemampuan yang kupercaya adalah  kemampuan Tifah. Selain menjadi mahasiswa kedokteran, Tifah juga punya pekerjaan sampingan sebagai influencer yang skill dandannya tidak boleh terlihat buruk, dan yang paling kusesalkan karena mantan selingkuhan Lintang, yang anak hukum itu, juga pernah satu tempat main dengan Tifah.

Meski Tifah tak tahu apa yang pernah terjadi antara aku, Lintang, dan teman anak hukumnya itu, tetap saja dandananku sekarang pasti digiringnya tertuju ke arah sana. Aku sendiri sampai lupa bahwa Lintang lebih suka aku tampil dengan alas bedak saja bahkan tanpa pencerah bibir, pake aku sengaja dandan sebegini niatnya. Bagaimana dia tidak ketawa coba?

“Ih, jangan badmood, dandan begini cuman bisa sehari loh. Besok-besok balik ke Ana yang lebih cantik lagi kok. Coba senyum bentar,” pintanya, MASIH BELUM PUAS!

“Aku beneran males, Lint, jangan becanda mulu,” nadaku datar.

Ugh, iya, iya jangan ngambek. Kachian gumush-gumushku nggak boleh ngambek ya,” ledeknya bersuara sok imut, aku sama sekali tak menggubris lagi hingga dua puluh menit kemudian tiba juga di depan gedung teater berstandar internasional yang disulap jadi tempat resepsi itu.

Baiklah, mari kita mulai serius lagi, kita akan menghadap di depan muka keluarga Lintang. Semoga mereka semua mewajarkan penampilanku yang temanya adalah menghadiri pernikahan, jadi wajar agak menor sedikit.

Kuikuti ke mana pun Lintang berjalan, aku agak terperanga dengan venue-nya, elegan dengan mempelainya berbusana bagai princess versi muslimah. Pemandangan begini nih yang bikin pedal gasku seolah hendak kuinjak full sekalian. Sampai kapan aku digantung dengan keinginan yang melangit hendak seperti Kak Dhila juga? Sampai wisuda? Atau sampai ada lelaki lain yang meminta izin ke ayah?

Nggak Mau Pacaran LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang