Bucin 17: Faro

42 8 0
                                    

MENANGGAPI janjiku kemarin, sepagi buta ini Go-Car sudah melaju dari kediamanku menuju rumah Lintang. Setumpuk misi besar harus bisa diselesaikan hari ini juga guna menyelamatkan masa depan yang panjang dari Faya, dan kami butuh bantuan mobil Lintang sebagai perantara kami menyukseskan misinya.

Kami akan mencari Faro, di mana pun dia berada sekarang. Perbuatannya tidak boleh didiamkan apalagi sampai menimbulkan korban lain, Faya harus menguncinya bagaimana pun caranya kelak yang mana hanya Faya yang paham anak itu mesti diapakan.

“Lintang udah bangun, Tante?” tanyaku, setibaku bertamu di waktu para tetangga Tante Yuni masih menyiram tanamannya di halaman. Bohong kalau aku tak enak juga bertamu sepagi ini, tapi berhubung urusanku lebih penting ketimbang omongan orang, maka tidak apa mereka membicarakanku. Toh, pahala orang yang tengah dibicarakan akan mendapat transferan pahala dari orang yang membicarakan, kan.

Jadi, terima kasih transferannya, jika memang aku harus sedikit dibincangkan.

“Masih tidur, Na,”

“Masih tidur? Dia nggak sholat?” tanyaku sedikit heran hampir memekik jika di depanku bukan Tante Yuni. Sudah kupesan agar dia jangan sampai meninggalkan kewajiban ibadahnya, masih saja kelupaan. Percuma mau jadi imam baik, memimpin keluarga ke jannah-Nya kalau sholat saja ditinggalkan. Disangka surga mau menampung orang yang sekadar good looking saja kali ya? Mesti sholat dan amalan-amalan terpuji lainnya yang menjadi kunci surga diridhoi menjadi tempat berpulang abadi kita.

Heran aku ke Lintang!

“Nggak tahu deh, coba kamu yang bangunin, kayanya kesiangan habis nge-game lagi,” kata Tante Yuni mempersilakan aku untuk masuk ke dalam rumah. Sebelum ke kamar Lintang, aku mampir ke meja makan sebentar, ada Om Baskara bersama wajah lusuh belum mandi milik Dinda di pagi akhir pekan ini minta disapa.

“Mau minjem mobil Lintang sebentar, boleh nggak, Om?”

“Oh iya, pakai aja. Nggak mau ke mana-mana juga kok dia kalau nggak kuliah,”

“Ya udah aku bangunin Lintang dulu kalau gitu,” Begitu izinku ke Om Baskara.

“Banguninnya jangan diteriakin ya, dia makin nutup kuping kalau berisik. Langsung siram aja,”

“Hehe, siap, Om,” kataku segera mengambil langkah naik ke lantai atas kamar Lintang.

Seumur-umur ini adalah kali pertamaku menapaki ruangan tersebut. Takut? Jelas ada. Tapi, tidak apa. Dia bukan mantan pacar Deandra kok, dia tidak akan membunuhku hanya pasal tidurnya terganggu.

Clek.

Decit dari gagang pintu kamarnya terdengar, lalu segera kubuka lebar, sengaja tak kututup kembali agar aku bisa lari kalau sudah mendapat kuncinya sekaligus tak mengundang pikiran yang tidak mengenakkan kalau orang di lantai bawah sampai melihat pintunya malah kututup.

Benar dugaanku, dia tidak sholat Subuh. Wajahnya tidak menunjukkan dia habis bangun apalagi sampai tersentuh air wudhu.

Aku lalu mengambil posisi jongkok menghadap ke mukanya dengan telapak menopangi daguku. Kuperhatikan dia baik-baik dengan prediksi bahwa hanya aku yang bisa menerima parasnya yang belum disentuh pencuci muka, pembersih muka, pelembab dan kawan-kawannya.

“Lintang!” panggilku setengah berani, namun dia tidak jua bergerak.

Aku lalu memutar ide di kepala bagaimana agar dia bisa bangun tanpa harus menyiramnya dengan air. Kalau kasurnya basah, aku yakin Tante Yuni lagi yang kerepotan nanti.

Aha. Aku punya ide. Tapi cara ini tak boleh dicontoh ya, takut mengundang hal-hal yang tak berkenan apalagi orang tersebut tidak sejenis seperti Lintang.

Nggak Mau Pacaran LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang