Putus 1: PUTUS

52 9 0
                                    

PERJALANANKU yang terhalang, tetap kulanjutkan dengan memesan taksi online agar tidak terlambat memasuki kelas pertama. Langkahku sudah seperti manusia tanpa tempurung lutut saja, sakin lemasnya menaiki anak tangga untuk menapak di meja kelasku. Duduk di sini, di antara kebisingan yang terjadi kian membuatku seperti manusia yang gila jika harus menangis tanpa disentuh siapa pun, maka kuputuskan untuk terlihat baik-baik saja, tetap menampilkan wajah tanpa riwayat penyakit sekrusial putus cinta.

Segalanya tetap berjalan baik-baik, sebelum dosen masuk Dion masih sempat membuatku tertawa bego di depan kelas dengan kisah liburannya yang hampir terserang virus rabies karena berencana mengarungi anak anjing. Aku tertawa, sampai tiba-tiba menangis mendengarnya.

Aku benar-benar terdengar menyedihkan hari ini, dan meski ini adalah hari terburuk yang pernah kulalui, aku akan tetap mencatatnya sebagai hari bersejarah di mana aku mampu mengalahkan ego terbesarku, ego hendak memiliki Lintang sepenuhnya.

Hari ini mimpi tersebut telah lenyap dari inginku di hadapan Tuhan, aku sama sekali tidak akan mengungkitnya lagi di hadapan Tuhan, aku akan berjalan seorang diri selayaknya remaja pada umumnya yang mengejar impianku, bukan menghabiskan waktu dengan tidak sebermanfaat kemarin.

Pelajaranku sepanjang hari berlangsung hingga pukul tiga sore, ketika hendak menuju ke masjid kampus sebelum pulang, kulihat dia tiba-tiba muncul di parkiran, aku tertahan, hendak putar arah tidak mungkin, menerobos lebih-lebih. Ketika pandangan kami saling terpaut, kuputuskan untuk tetap melanjutkan saja langkahku melewatinya, aku tidak boleh terlihat kagok hanya karena dia yang di sana.

"Na ...  dengerin aku dulu––" Langkahku benar dihadang, namun aku tidak tinggal diam untuk tetap terkurung, sampai muak sendiri rasanya seperti anak kecil begini.

"Tolong, Lintang, aku mau sholat!" pintaku memohon untuk dibiarkan pergi, senyumnya berhasil luruh sepersekian detik beradu pandang menatapku, sebelum ditahan kembali.

"Aku anterin,"

"Nggak usah. Aku bisa berangkat sendiri,"

"Na, please aku mohon kamu dengerin aku dulu, aku tadi––"

"Lintang, udah! Aku capek bukan mau dengerin itu lagi!" Nadaku jadi menambahkan oktafnya.

"Na, aku cuman pengin kamu denger penjelasan aku dulu. Iya, aku salah, Na, aku minta maaf, tapi tolong kamu jangan ninggalin aku gini, kamu tahu aku nggak bisa kehilangan kamu, aku udah sayang banget sama kamu. Aku siap, Na, kasih semua yang kamu mau asal kamu jangan ninggalin aku, termasuk kalau kamu minta nikah dalam waktu dekat ini, aku bakal bersedia urus semuanya demi kamu, Na,"

"Udah? Kalau udah, silakan kamu pulang, dan jangan suka merepotkan diri sendiri dengan ngelakuin hal yang belum mampu kamu jalani. Assalamualaikum," ucapku yang kuharap cukup menjelaskan bahwa aku menolak pancingannya.

Kita berpisah, kutinggalkan dia frustasi menendang angin di belakang sana, aku sama sekali tidak menoleh lagi hingga pesanan Go-Car-ku tiba. Kuputuskan untuk beribadah di rumah saja, tidak mungkin aku memilih beribadah di masjid kampus dalam situasi begini.

Ini bukan saatnya kita dipertemukan kembali, dan kupikir tak ada lagi alasan kita untuk saling dipertemukan.

***

Begini ya ternyata rasanya patah hati, aku jadi bisa merasakan bagaimana menangis sambil mengetik laporan perdanaku, sampai belasan kali mencuci muka bukannya reda malah tangisku semakin pecah menghadap mukaku yang memerah di dalam cermin. Untuk sekadar keluar makan malam dengan Ibu saja aku harus meng-goggling cara menghilangkan mata sembab.

Beruntung aku masih masih punya sisa concealer dan bedak Alisha yang sengaja di tempatkan di dalam kamarku, untuk menyamarkan bekas-bekas sembab di bawah mata dan pipiku yang memerah. Aku takut masalah ini sampai terdengar oleh Ayah atau terdengar Bang Harun, aku tidak mau mereka menemui Lintang dan menanyakan macam-macam.

Nggak Mau Pacaran LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang