35

307 80 388
                                    

-Happy reading-

-o0o-

Cuaca mendung seakan mewakili suasana hati Kana yang berduka. Orang tuanya telah pergi untuk selamanya, kini Kana tidak memiliki siapa-siapa. Kedua mertuanya serta teman temannya datang untuk memberikan bela sungkawa atas meninggalnya Edward dan Meera.

Larissa mengelus punggung Kana yang gemetar, "kamu gak sendirian sayang. Ada Bunda, Ayah, Devan, dan teman-teman kamu."

"Aku minta maaf Ma, Pa. Dulu, aku selalu gak nurut sama kalian. Aku belum penuhin janji aku ke kalian, hiks... Mama, Papa aku sayang kalian." lirih Kana memegangi batu nisan dan menatap kedua makam itu sendu.

Wanita beranak dua tersebut memeluk Kana dengan erat. Dia paham perasaan menantunya itu, Edward dan Meera jarang sekali berkumpul di rumah. Kana itu jarang mendapat momen keluarga yang utuh.

"Bunda paham perasaan kamu Na, kamu harus ikhlas. Kalau kamu sedih, mereka juga ikut sedih, Bunda janji akan menjadi orang tua yang kamu inginkan. Kamu gak usah takut, ada Bunda, Ayah, dan Devan." Larissa mengecup kepala Kana dengan kasih sayang yang tulus.

"Bener kata tante Larissa Na, lo gak sendirian. Ada gue sama yang lainnya," kini Sava berjongkok di samping Kana. Gadis itu tersenyum ramah pada Kana lalu memeluknya.

"Makasih Va," ujar Kana lirih.

"Lo bisa lebih terbuka sama kita-kita Na," kata Rafa yang berdiri di samping Jonathan.

"Gue bakal selalu ada buat lo, jangan sungkan." itu suara Ksatria yang sudah berjanji pada Devan sejak lama, bahwa dia akan melindungi Kana.

"Apasi yang enggak buat istrinya bos!" ujar Jonathan cengengesan. Bukannya Jonathan tidak sedih, Jonathan itu tipe orang yang jarang menangis di depan umum.

****

Malam ini, hujan deras mengguyur kota Jakarta. Hawa dingin akibat angin menyelimuti tubuh Kana yang sedang berdiri di balkon kamar. Sampai sekarang, Devan belum juga pulang. Padahal sejak tadi, Kana selalu menunggu kedatangan Devan, dia ingin menangis sejadi-jadinya di dekapan orang yang dia cintai, Devaniel Arangga.

"Lo kemana Van?" gumam Kana menatap kosong kearah depan.

Tiba-tiba, Kana teringat kejadian tadi. Hal itu membuat satu tetes air mata lolos tanpa persetujuannya. "Lo jahat Van, gue benci sama lo! Gue benci!"

Secara bersamaan, tangan seseorang melingkar di pinggang Kana memeluknya erat. Dia mencium aroma dari leher Kana, yang sangat dia sukai. "Maaf."

Suaranya sangat familiar membuat Kana menepis tangan orang itu yang melingkar di pinggangnya. "Pergi!"

"Kana," panggilnya lembut berusaha membalikkan tubuh Kana agar menghadapnya.

"Gue benci sama lo! Lo jahat! Gue benci lo Devan..." lagi, lagi, Kana menangis. Dengan cepat Devan mendekap tubuh Kana yang gemetar.

"Maaf, maaf, maafin gue Na. Gue emang brengsek, lo boleh tampar gue sepuasnya." Devan mencium kepala Kana berkali kali dengan rasa cinta yang teramat besar.

"G-gue ben-ci lo!" ujar Kana sesenggukan seraya memberontak dari pelukan Devan.

"Tapi gue sayang Na, gue mohon jangan suruh gue pergi lebih baik lo tampar gue tonjok gue kalo perlu semau lo."

Fate Of Kanaya [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang