36 (End)

12.5K 708 122
                                    



Hal yang pertama Bani dapati setelah kembali membuka matanya adalah kamar yang kosong. Ia turun dari atas ranjang untuk mengamati wajahnya yang pucat dari cermin, dan merasa pantulan di hadapannya itu bukan dirinya.

Laki-laki yang kini tengah beranjak untuk mengambil sebuah pisau buah dari atas nakas itu juga pasti bukan dirinya. Karena dirinya tidak akan mungkin begitu menikmati perasaan yang datang ketika ia mulai menyayat urat nadinya sendiri.

Darah menetes ke lantai. Kemudian ia tertegun menatap sosok perempuan yang begitu datang, langsung menjerit histeris melihatnya. Teriakan Kynara barusan itu seolah-olah menyadarkannya kalau apa yang baru saja ia lakukan adalah salah.

Tiba-tiba saja Bani menyesal telah memutus urat nadinya sendiri. Ia tidak mau pergi, ia tidak rela pergi dan meninggalkan perempuan itu sendirian.

Tapi rasanya sudah begitu terlambat, karena pandangannya berangsur menggelap. Kynara masih menangis sejadinya, dan untuk menghapus air mata di pipi istrinya itu saja Bani sudah tidak lagi mampu. Pertahanannya sudah runtuh dan ia kembali menutup matanya.

Bani kembali terbangun, tidak, kali ini ia benar-benar sudah bangun dari mimpi buruknya barusan. Pergelangan tangannya masih mulus tanpa tergores oleh apapun, dan lantai kamar sangat bersih dari bercak-bercak darah.

Kemudian sosok Kynara datang dengan semangkuk bubur hangat di tangannya. "Sepertinya kamu maag dan dehidrasi akut akibat veisalgia. Makanya pingsan."

"Veisalgia?"

"Istilah medis. Karena terlalu banyak minum alkohol? seingat saya gitu."

Bani mengangguk dengan keringat dingin yang masih membasahi pelipisnya. Yang ingin ia lakukan saat ini hanyalah menatap Kynara selama apapun ia mampu, dan bersyukur kalau peristiwa menyayat putus urat nadi tadi hanyalah sebuah mimpi.

Isterinya itu kini ikut duduk di pinggir ranjang. Bani jadi ingat sebuah pesan yang masuk ke ponsel Kynara semalam, yang membuatnya todak bisa tidur semalaman hanya karena memikirkannya. Sekarang ia tidak tau apa yang benar-benar mampu ia lakukan jika mereka sudah benar-benar bercerai. Rasanya seperti hidup ini tidak ada gunanya lagi jika Kynara memilih untuk meningalkannya sendirian.

Bani berpikir, haruskah ia berlutut dan menyembah di kaki isterinya sekarang agar perempuan itu mau berubah pikiran?

"Ra..." rasanya seperti ada bongkahan batu yang mencekat tenggorokannya.

"Dimakan dulu buburnya Mas. Perut kamu kosong."

"Aku gak mau cerai."

Kynara tertegun sejenak, dan Bani masih menunggu respon darinya.

"Kamu bicara apa sih Mas?"

"Aku udah tau semuanya, kamu gugat cerai aku ke pengadilan."

"Ngarang." Kynara berucap begitu seraya pergi meninggalkan kamar, tidak lama perempuan hamil itu kembali dengan segelas air putih hangat.

"Aku gak ngarang, aku lihat sendiri SMS di hp kamu."

Kemudian perempuan itu meraih ponselnya yang belum sempat ia periksa sejak semalam, mencari-cari SMS mana yang bisa membuat Bani tidak tidur semalaman dan berakhir pingsan karena kelelahan. "Yang ini?" Ia menunjukkan layar ponselnya dan suaminya itu mengangguk.

"Saya memang ajuin gugatan. Tapi bukan gugatan cerai."

"Terus kamu gugat aku apa lagi selain cerai? Harta gono-gini?"

Kynara berdecak, walau ekspresinya tetap datar tapi Bani tau kalau perempuan ini tengah merasa jengkel. "Saya gak gugat kamu. Saya gugat perdata orang-orang yang nyebarin fitnah gak benar tentang kamu di sosial media."

Kamu dan PanaseaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang