6

5.2K 751 54
                                    

"Jemput Arka aja yok! Aku kangen tau sama itu bocah."

"Enggak Bani, saya nanti sore ada shift sedangkan kamu harus ke studio Bintaro kan? Mending Arka sama Nenek Kakeknya hari ini."

"Tapi Arka udah tiga hari Ra di rumah neneknya, itu apa nggak kelamaan? Nanti kalau kita udah nikah, kamu masih mau nitipin Arka terus-terusan di neneknya? Mending aku sama kamu yang nanti ganti-gantian jagain di rumah."

Lagi, Ara suka tiba-tiba tidak tahu mau membalas apa kalau Bani berakhir bicara soal pernikahan seperti ini. Di satu sisi jantungnya rasanya mau meledak, di sisi lain ia merasa bersalah karena masih belum berani jujur pada lelaki yang sekarang sudah menobatkan diri menjadi pacarnya itu.

"Habis makan, taro aja piring kamu di westafel ya Bani."

Bani mengangguk sambil menyuapkan sendokan terakhir nasinya ke mulut. Ia minum air dari gelas di samping dan segera meletakan piring dan gelas kotornya di westafel untuk kemudian ia cuci sendiri. Bani tidak akan membiarkan Ara menghabiskan waktu hanya untuk mencucikan piring kotornya.

"Nanti malam ku jemput ya?"

"Memangnya kamu gak ada manggung?"

"Gak ada, cuma latihan band biasa doang."

"Terserah kamu saja kalau gitu."

"Jam berapa kira-kira pulangnya Ra?" Bani menyeka tangannya yang basah sehabis mencuci piring ke kaus yang ia pakai, kemudian menyusul Ara untuk ikut duduk bersila di atas sofa ruang tamu. Perempuan itu terlihat masih asik dengan ponselnya.

"Jam sembilanan."

"Oke nanti aku chat kamu kalau udah jalan dari studio." Bani mengambil segenggam kacang dari toples di atas meja dan memasukan seluruh yang ada dalam genggamannya ke dalam mulut. Ia kini melirik perempuan di sampingnya yang masih sibuk dengan ponsel dan buku catatan kecil di atas paha. "Ngerjain apa sih? Serius amat kayanya."

"Kepo kamu."

"Emangnya gak boleh? Kepo kan tandanya sayang."

Dan pria ini selalu saja sukses mengusik fokus Ara dengan mulutnya yang menyahut seperti itu. "Saya lagi anggarin biaya buat sekolah Arka sampai kuliah nanti, Bani. Sudah tahu kan sekarang?"

"Kok enggak ngelibatin aku?" Lagi, pria ini hanya berkata santai begitu tapi rasanya sudah mampu membuat pipi Ara memanas.

Ara jadi tidak tahu bagaimana ia harus menyahutinya. Pokoknya ia selalu persis seperti kambing dungu jika sudah mendapatkan tatapan intens dari Bani seperti saat ini. Apa ia jujur saja sekarang? Ini waktu yang tepat untuk mengatakannya. Bani perlu segera tahu, mengapa menikah dengan Ara sama sekali bukanlah pilihan yang baik dalam perjalanan hidupnya.

Namun belum sempat ia mengatakan maksudnya, suara bel di pintu mengalihkan tatapan pria itu darinya dan Ara sedikit bisa menghirup nafas lega. "Saya buka pintu dulu."

Perempuan itu beranjak berdiri dan Bani dapat mendapati punggungnya yang tiba-tiba terlihat menegang dari belakang. "Siapa yang datang Ra?"

Lama tidak ada jawaban, sampai rasanya Bani ingin cepat-cepat berdiri dan memeriksanya sendiri lewat layar intercom. Tapi Ara sudah lebih dulu melonggarkan rasa penasarannya dengan menjawab, "Mamanya Kaivan... yang datang.."

"Kenapa? Kamu takut?" Melihat Ara yang mematung, Bani coba bertanya dengan cukup pelan. Dan perempuan itu hanya menganggukan kepalanya sebagai jawaban. "Mau aku aja yang bukain pintunya?"

"Gak usah Bani. Saya saja." Sebelum membukanya, Ara terlihat lebih dulu menarik nafas pelan dan menghembuskannya secara perlahan pula. "Ibu, ada apa lagi datang kesini?"

Kamu dan PanaseaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang