7

5.4K 725 122
                                    

"Jangan lupa cuci kaki, cuci tangan, terus sikat gigi sebelum tidur. Arka bisa sendiri kan? Mama tunggu di sini ya."

"Siap Mama!!" Bocah itu berlari ke kamar mandi, meninggalkan Ara dan Bani berdua saja di ruang tamu.

"Sudah malam, kamu gak pulang ke unitmu?"

Ara akui, ia agak takut akan keterdiaman pria itu sejak mereka pulang dari rumah sakit. Tidak seperti biasanya, Bani belum berbicara sepatah kata pun sejak Ara menolak bergandengan dengannya di rumah sakit tadi.

"Kita bicara sebentar boleh?"

Ara menangkap raut datar yang terpancar dari lelaki di hadapannya dan buru-buru mengalihkan pandangan sebelum Bani juga balas menatapnya. "Tunggu di sini gapapa kan? Saya mau nidurin Arka dulu. Abis itu baru kita bisa bicara."

Lelaki itu mengangguk tanpa menyahut apapun. Maka Ara cepat-cepat berjalan menuju kamar Arka.

Kira-kira pukul setengah sebelas, Ara baru bisa keluar setelah Arka sudah tertidur pulas. Begitu keluar dari kamar Arka pun, ia sudah langsung bisa menangkap sosok Bani yang terlihat menyibukan diri dengan ponselnya di ruang tamu.

Ketika Bani mendapati Ara sudah berdiri di sana, ia menepuk-nepuk sofa di sebelahnya. "Sini, duduk."

Ara menurut, meski ia duduk sedikit lebih jauh daripada apa yang Bani sarankan barusan. "Mau bicara apa?"

"Mau bicarain tentang kamu."

"Saya?"

"Iya kamu."

"Apa soal yang tadi?"

Bani mengangguk pelan, ia kemudian mendongak untuk memberikan seluruh fokusnya pada Ara. "Gimana perasaan kamu sekarang?"

Bani terlihat menghela nafasnya dalam-dalam dan dari jarak sedekat ini, Ara jelas dapat merasakan sedikit udara hangat di sekitar wajahnya. "Apa lain kali aku perlu turun tangan kalau Ibu-ibu itu dateng lagi?"

"Turun tangan yang kayak gimana?"

"Bantuin kamu ngelawan dia, biar kamu gak berakhir nangis kayak tadi."

Kynara menggosok telapak tangannya yang tiba-tiba terasa dingin, atau itu hanya perasaannya saja? "Kamu sendiri yang bilang ngelawan orang tua itu dosa."

"Emang sih, tapi aku rasa itu lebih baik daripada ngelihat kamu nangis kayak tadi. Tau nggak, aku tuh tadi frustrasi banget karena gak tahu harus ngapain buat bikin kamu lebih tenang."

"Maaf...."

"No, bukan begitu maksud aku Ra. Aku justru marah sama diriku sendiri, karena gak tahu harus ngapain. Maka dari itu aku tanya ke kamu barusan. Kalau Ibu-ibu itu datang lagi, kayaknya aku juga gak akan tinggal diam."

"Jangan ikut marah-marah Bani, kamu galak banget kalau lagi marah."

"Hah? Emang iya? Kamu pernah lihat aku marah kapan emangnya?"

"Waktu dulu, pagi-pagi setelah malamnya kamu liat saya mabok itu. Jujur saya agak takut lihat muka kamu waktu itu."

"Oooh yang itu? iya tuh, abisan aku kesal banget. Bisa-bisanya kamu mabok sampai ngebahayain diri kamu sendiri kayak gitu Ra? Gimana coba kalau aku gak kebetulan lewat dan lihat kamu di lorong kayak waktu itu?"

"Waktu itu saya gak sengaja Bani. Maaf."

"Iya dimaafin, jangan diulang lagi kalau kamu gak pingin aku pulang-pulang kena serangan jantung lihat kamu begitu."

"Siap pak bos."

Bani sempat terkejut sebelum akhirnya terkekeh mendengar sahutan Ara yang seperti itu. "Kamu bisa ngelucu juga? aku kirain bakal kaku terus kaya kanebo kering."

Kamu dan PanaseaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang