1. Antara Duda dan Berondong

39.9K 4.5K 732
                                    

Sejak aku kecil, Papa sudah membacakan ratusan dongeng. Tepatnya, bukan cuma membaca, tetapi juga bercerita. Di beberapa kesempatan juga mengarang bebas. Membaca artinya membaca tulisan di buku, bercerita artinya menceritakan lisan tanpa buku. Mengarang bebas artinya ... kita semua tahu apa itu mengarang bebas.

Sampai sekarang, buku dongeng si kancil dan kawan-kawannya pun masih ada di rak buku kamarku. Cerita dan karangan bebas Papa sebagian juga masih tersimpan di dalam kepalaku. Mereka—para cerita itu—bersemayam dan menolak pergi, kadang tiba-tiba timbul jika aku melihat kedekatan Mama dan Papa.

Papa Budi—begitu aku sering memanggilnya jika sedang kesal—adalah ayah yang sangat baik. Kurasa juga suami yang sangat baik. Tingkahnya sebudiman namanya. Papa bertanggung jawab dan tegas dalam mengambil keputusan. Papa juga membantu Mama membereskan rumah. Di Hari Bebas Perempuan Keluarga Budi, yang berlangsung setiap tanggal 14, Papa dan Mas Abin bekerja dan membiarkan aku dan Mama nganggur.

He is a good father, but I don't want to have a husband like him . 

Cukup satu papa di hidupku. Meskipun ia baik, tetapi aku tidak ingin menikahi orang yang sama seperti Papa. Membuat anakku menyaksikan keromantisan adalah pelajaran kurang baik. Maksudku, kissing di dapur di pagi hari agak menggelikan. Sudah pukul tujuh pagi, aku sudah siap dengan blus peach berpadu dengan rok kerja selutut warna hitam saat kusaksikan bagaimana aksi pertukaran saliva itu dimulai.

Aku mau turun untuk sarapan sebelum kemudian keluar rumah dan bekerja. Namun baru sampai tangga, aku melihat bagaimana Mama begitu menikmati desakan lidah Papa di dalam mulutnya. Ini membuatku merinding dan geli luar biasa.

"Ekhm!"

Percayalah, bukan aku yang berdeham sekeras itu, tetapi lelaki yang baru keluar kamar dan menyaksikan bagaimana orang tua kami saling merapatkan tubuh di dapur. Aku bersedekap dan menatap Papa dan Mama malas. Semburat merah muncul di pipi Mama yang sudah lumayan keriput, dan Papa melenggang pergi tanpa beban. Mereka cukup tua, bahkan terlalu tua, untuk melakukan tindakan semacam ciuman panas di meja makan. 

"Gimana kalau kita beli rumah sendiri?" tanya masku yang tadi berdeham.

"Asal nggak sampai ada adik susulan," imbuhku dengan gaya santai, tetapi berhasil membuat wajah Mama menunduk malu-malu kucing.

"Cepat sarapan," ujar Mama menyudahi godaan Mas Abin. Itu sindiran, Mama. Pekalah.

Aku dan Mas Abin berjalan beriringan menuruni tangga. Mama Ayna yang manisnya tiada tanding di mata papaku dibuat tersipu malu. Mama juga mengambilkan nasi dan lauk untuk Papa, lalu duduk di sebelah lelaki itu.

"Nggak ada kemunduran kan, Mas?" tanya Papa sambil menyesap tehnya.

Mas Abin mengacungkan tangan dengan bangga. Ia bekerja melanjutkan usaha Papa di bidang otomotif. Proses belajarnya sejak SMP. Aku bersyukur ia mengorbankan diri untuk itu. Mengurangi beban pikiranku yang merasa bertanggung jawab.

"Kalau kemunduran dalam hubungan kamu sama Ace gimana, Mas?" Kali ini Mama yang bertanya, gantian menyindir.

Ace itu calon kakak iparku, lengkapnya Aceline Luvena, memiliki usaha sendiri di bidang WO. Anggun, sopan, dewasa dan mengagumkan. Ia berhasil menyukseskan sebuah usaha WO di usia 26 tahun—tiga tahun lalu sampai sekarang. Mimpi apa Masku dapat calon jodoh se-wow itu. sejujurnya, agak jomplang.

Makanya berulang kali dia mengajak aku beli rumah baru selalu kutolak. Alasannya, dia mirip Papa. Aku pernah memergokinya menghisap leher Mbak Ace seperti vampir haus, dan setelah itu Mbak Ace betul-betul kesulitan menutupi noda merah di lehernya.

"Maju kok, Ma, mundur cuma pas mau putar mobil."

"Kalau gitu kapan Ace kamu ajak ke rumah lagi?"

"Ya ... kapan-kapan, Ma."

All That is Lost Between Us (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang