11. Dongeng Nevan Cakra dan Dewangga

16.3K 3K 390
                                    

"Aku punya kejutan."

"Nggak mau kalau itu tentang setan."

Dewangga tergelak pelan. Sudah pukul satu dini hari. Udara terlalu dingin, tetapi aku enggan pulang. Trotoar rupanya tempat yang menarik juga. Ributnya Jakarta juga tak selalu buruk. Aku merasa dapat hiburan dengan suara bising itu setelah Mas Abin mengusirku dari kamarnya. Sial memang. Niatku mau menghibur, malah diusir.

"Bisa foto bintang enggak, Mas?"

"Bisa. Tapi udah lama nggak nyobain foto luar angkasa."

"Kenapa?"

"Lagi senang belajar foto makro."

"Bukan foto nikahan?"

Dia menggeleng prihatin. Sedetik kemudian, dia membuat pengakuan yang bikin dirinya betul-betul tampak jadi budaknya cinta.

"Sebenarnya baru kemarin ambil job foto di nikahan orang. Dari dulu lebih suka foto makro. Cuma karena kamu di sana, makanya aku terima."

Benar kata Mas Abin, dia bucin level komodo. Bucin yang kelewat bucin. Aku tak habis pikir apa yang ada dalam diriku sampai Dewangga bisa seperti itu. Genggaman tangannya yang sejak tadi tak lepas, agak mengendur saat Dewangga menerima telepon. Dia bicara sebentar, lalu memasukkan lagi ponselnya.

Kulihat, ada kursi di pinggiran trotoar. Tak cantik dan estetik, tapi bolehlah, kami habiskan malam ini di sana. Aku mengusap tangan yang terasa semakin dingin. Ketika Dewangga duduk di sebelahku, tangannya yang berukuran besar itu meraih tanganku dan diusap-usap. Hangatnya merayap sampai hati. Sial.

"Jaga hati ya."

Kayaknya susah. Bagaimana aku bisa jaga hati kalau dibuat baper begini? Mikir dong, Dewangga.

"Jaga hati buat Dewangga aja, maksudnya."

Kupejamkan mata, memaki lagi. Brengsek. Semakin malam kewarasanku semakin hilang. Dewangga tertawa pelan, tetapi hatiku terguncang. Setelah berdeham-deham demi mengembalikan kewarasan, aku teringat janjinya tadi pagi.

"Katanya mau dongeng."

"Mau tidur?"

"Udah malam."

Kami duduk bersisian, menghadap jalanan. Aku malas menggerakkan kepala sekadar melihat wajahnya. Dewangga menggenggam tanganku ketika sehembusan angin lumayan kencang menerpa. Dingin, tapi tak apalah. Aku malas pulang. Di ruangan Mas Abin juga diusir. Dia baru saja jadi jomblo. Tak ingin menyaksikan aku dan Dewangga, yang katanya lebay selevel komodo.

"Nevan Cakra itu Dewangga. Tapi Dewangga bukan Oy. Tapi Nevan Cakra adalah Oy."

Baiklah. Pembukaan yang rumit. Belum apa-apa aku dibuat bingung. Dewangga tertawa sebelum memulai dongeng malam ini. Dia memintaku menyiapkan telinga dan pikiran yang lapang.

*

Lucky Prize pernah membaca sebuah koran dan menemukan nama yang menurutnya bagus. Nama itu kemudian ia jadikan nama anaknya. Ya, Dewangga Adna Galiantara. Itu nama pemberian Lucky Prize. Satu-satunya peninggalan lelaki itu untuk anak tunggalnya. Sebab Lucky Prize tak punya harta seperak pun yang ditinggalkan untuk Dewangga.

Usia lima tahun, selepas kematian orang tuanya, Dewangga dibawa ke NTT oleh neneknya. Maria Hartono. Usia tujuh belas tahun, mereka kembali ke Jakarta dan menempati rumah peninggalan Hartono. Di sanalah persoalan nama menemukan sebuah masalah menyebalkan. Sampai sekarang Dewangga membencinya.

"Nak, namamu akan diganti menjadi Nevan Cakra Hartono."

Lantas Dewangga membalasnya tanpa rasa takut. "Nggak ada yang salah dengan nama Dewangga. Dan nggak ada niatku menyematkan nama Hartono di belakangnya."

All That is Lost Between Us (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang