15. Dewangga dan Anindhya

21K 3.4K 866
                                    


Dewangga

Mau ikut camping?

Hanya karena mendapatkan pesan sesingkat itu, aku sampai menjerit histeris dan berguling-guling di atas ranjang. Sudah satu minggu ini dia tidak memberi kabar. Terakhir kali, dia bilang akan berkabung dulu beberapa waktu. Aku menghormatinya meski rasanya gatal ingin tanya apa kabarnya. Apakah dia sedih sekali atau dia masih setenang biasanya. Lebih lagi, apakah dia butuh seseorang untuk menemani atau bisa menangani keadaannya sendiri.

Mas Abin termasuk orang yang harus ditemani saat sedang dapat masalah. Aku khawatir orang lain memiliki keadaan yang sama dengan Mas Abin. Namun, demi menghormati Dewangga dan segenap keluarganya, aku sama sekali tak bertanya.

Camping ke mana? Kukirim balasan itu secepat kilat, dan secepat itu pula Dewangga membaca dan langsung mengetikkan balasan.

Human ... kayaknya aku gila. Hanya karena dikirim pesan setelah seminggu kami berpisah, rasanya luar biasa senang. Kupukul bantal ke kepala. Ayo sadar, Naya! Sadar! No no no! Ha-ha, aku merasa betulan gila. Rasanya berbunga-bunga, pikiranku langsung ringan dan senyumku sulit sekali ditahan.

Dewangga
Ke Jogja. Sama Abin juga.
Tapi nggak bulan ini. Masih agak lama. Nunggu Abin baikan juga.

Anindhya

Terus kok ajaknya sekaraaang?

Dewangga
Bahkan Abin sama Oy udah diajak tahun lalu.

Aku membeliak setengah geli. Ya Tuhan, senangnya. Namun, aku ingin dengar suaranya. Pesan saja terasa belum cukup sekarang. Aduh, apakah aku terlalu berlebihan dan serakah? Aku takut hanya aku yang antusias sementara Dewangga sebetulnya biasa saja. Aku juga belum pernah melihat bagaimana dia bersikap sama perempuan lain. Bisa jadi semua perempuan dia perlakukan sama.

Dewangga
Anindhnya.

Anindhya
Kenapa?

Dewangga
I can't decline this forlornness when I need to see you soon. I miss our talk.

Bibirku tergigit kuat, tanganku menggenggam ponsel sangat erat. Dewangga, tahu reaksi macam apa yang aku keluarkan? Aku mendengus, tetapi rasa panas dingin dan gemetar tak hilang begitu saja. Justru kini rasanya merambat, semula hanya di wajah dan tangan, telah sampai ke ujung kaki. Aku mendengus lagi, lalu menenggelamkan diri di tumpukan bantal dan menjerit kesal. Betapa aku lemah soal begini. Ini semua salah Mas Abin yang membuat aku hidup seolah di dalam gua. Kini, ada yang bilang kangen saja aku langsung tak berkutik.

Yes! I miss you too, Dewangga. Kuusap mata yang berair dan memaki diri sendiri. Aduh, Nayaaa, bisa-bisanya sampai nangis cuma karena dibilang kangen!

Namun ini menyenangkan. Menyingkirlah rasa malu, aku mau menikmati keadaan ini meskipun lebay banget. Tak masalah nanti Mas Abin menyebut aku bucin level komodo juga. Rasa rindu yang terbalas memberikan sensasi indah yang lebih dari apa pun.

Aku membalas pesannya dengan gemetar. Tentu saja tanpa bilang bahwa aku juga kangen, hanya kukirimkam emoticon nyengir. Lalu Dewangga melakukan panggilan video. Aku dibuat kalang kabut lagi, loncat dan mengambil sisir serta menambahkan lipstik. Ugh, untung sudah mandi. Di panggilan ke dua, aku baru mengangkatnya. Tampaklah wajahnya yang ganteng itu di layar. Dia sedang duduk di sofa, tersenyum kecil.

"Hai."

Haiii! Aku berdeham, jangan norak, Naya. Please, jaga harga diri.

"Hai, Mas." Aku mengakhiri dengan senyuman kecil.

All That is Lost Between Us (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang