17. Sebuah Cerita

13.6K 2.7K 212
                                    

Maria Hartono tampil lebih muda dari usianya. Dia memakai baju bermotif bunga, rok selutut dan sepatu ber-heels. Bibirnya tidak mencolok tetapi cukup terang. Dandanannya agak menor seperti nenek-nenek di televisi. Dia juga setenang Nevan Cakra, dan tatapannya selalu fokus. Aku tidak berhasil tampil tenang sebagaimana Nevan Cakra di sebelahku. Aku kikuk setengah mati, sementara daripada ngobrol hangat, pertemuan ini lebih tampak seperti persidangan. Bahkan Papa Budi yang kadang sangat mengerikan pun tidak pernah lebih mengerikan daripada Maria Hartono kali ini.

Dia wanita yang mempunyai energi besar.

"Apa kabar Anindhya?" Maria Hartono bersuara pelan. Aku tersenyum kecil, menjawab sopan.

"Baik."

"Aku sama baiknya, dan selalu baik. Bertemu kamu adalah salah satu hari terbaik dalam hidupku."

Aku mengangguk masih dengan senyuman kecil ketika tiba-tiba pintu terbuka agak keras dan seorang lelaki dengan napas terengah-engah muncul. Dia membuang napas keras dan berkata tajam. "Tidak ada permainan curang," katanya dengan deru napas yang belum tenang. Lagkangnya lebar-lebar saat menjangkau tempatku duduk dan menarikku tanpa permisi. "Seharusnya hal seperti ini nggak terulang lagi."

"Duduklah, Nak," kata Maria dengan tenang.

Lelaki yang menarikku, Dewangga, mendengus. Dia membuang napas beberapa kali, tanganku diremas keras.

"Selagi ada kesempatan," kata Maria lagi.

"Terima kasih, tapi ada hal yang lebih penting dari ini."

Aku hanya patuh saat Dewangga menarikku menuju pintu. Aku merasa sejak tadi Mira Hartono ada di sekitarku, dan dia terus mengawasi keadaan di ruangan itu. Kini, saat Dewangga ingin aku pergi dari sana, aku merasa Mira Hartono tersenyum senang. Namun baru saja kami mencapai pintu, suara Maria Hartono terdengar lagi.

"Dengarlah, Nak," katanya. Aku membayangkan setiap kalimatnya adalah ombak di lautan, yang tenang tetapi sebetulnya itu sangat berbahaya. "Untuk mendapatkan cinta, kamu harus kehilangan banyak cinta yang lain."

Dan kini, akulah perenang di tepi pantai, yang mengagumi betapa indahnya ombak itu. Dewangga meremas tanganku lebih keras saat menjawab lugas. "Tidak ada kehilangan dalam cinta."

Lalu dia membawaku keluar dari sana. Kami turun dengan lift ke lantai terbawah, tidak peduli bahwa aku punya pekerjaan dan tanggung jawab. Aku tidak mau bertanya dan Dewangga tidak bicara sepanjang perjalanan sampai parkiran. Dia memberikan helmnya, memintaku segera naik, lalu kami meninggalkan tempat itu dalam keheningan. Dewangga masih melajukan motornya pelan, kami menuju sebuah rumah sakit besar dan dia membawaku ke ruangan Mas Biru. Ada Layla di sana.

"Kenapa ke sini?" tanyaku berbisik.

"Menjenguk orang sakit."

"Tapi aku kerja."

"Sampai Nevan Cakra mecat kamu, urusannya denganku."

Layla mempersilakan aku dan Dewangga masuk. Sebelumnya dia duduk di depan, menelepon seseorang. Lalu setelah melihat aku dan Dewangga, panggilannya segera dihentikan. Aku dihadapkan pada kondisi mantan duda yang cukup menyedihkan. Sebelumnya, aku melihat Mas Biru sebagai lelaki dewasa yang kuat, tetapi hari ini seolah Tuhan menunjukkan bahwa yang terlihat kuat boleh jadi menyimpan sakit yang sangat perih. Sakit dalam artian sebenarnya atau sebatas kiasan.

Bagian terpenting yang aku tandai di sini adalah: aku biasa saja melihat Mas Biru. Sebagaimana aku melihat orang lain sakit, bukan seperti melihat lelaki yang aku cintai tengah sekarat.

"Apa kabar, Naya?" tanya Mas Biru. Senyumnya yang pucat muncul, matanya menyipit. "Lama nggak bertemu, ya."

"Baik, Mas. Semoga segera membaik."

All That is Lost Between Us (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang