Terima kasih sebesar-besarnya pada Dewangga yang telah merelakan diri menemani aku nggembel di depan rumah.
Aku menatapnya penuh permohonan maaf. Sudut-sudut mataku masih berair setelah menangis beberapa menit di halaman. Siapa yang peduli persoalan malu sekarang. Bahkan, aku rasanya tak lagi punya muka. Hilang semua dikubur di kerak bumi. Dewangga cuma tertawa menanggapinya. Tawa yang ... terdengar tenang namun membius. Sial, jangan sampai aku betul terbius sama suara itu.
"Duduk aja, aku belikan minuman."
"Harusnya aku yang sediain minuman."
"Sesekali tamu yang bawa minuman."
"Dunia dibalik?" tanyaku garing. Namun dia tetap terkekeh.
"Aku percaya dunia bulat. Entah gimana membalik dunia ini."
Dengusanku terdengar, dia mengelus kepalaku dan izin pergi sebentar untuk membeli minuman. Aku duduk di kursi depan rumah, menopang dagu. Rasanya masih tidak menyangka akan kayak gini. Tiga tahun lamanya hubunganku dan Mbak Ace seperti tidak ada masalah. Tiba-tiba kami berpisah. Dengan cara ekstrem.
Gimana Mas Abin, gimana Mama, gimana Papa. Aku bingung. Aku takut akulah yang paling bersalah dalam keadaan ini. Aku terbayang masa ketika Mas harus konsultasi rutin sama konselor. Papa yang membantunya, sementara aku dan Mama dilarang masuk kamar Mas Abin di awal-awal masalah itu.
Bahkan, ponsel sudah aku matikan sejak di jalan. Aku takut mendapat telepon dari Mas Abin. Takut dia marah, takut aku disalahkan, takut nanti hubungan kami jadi berantakan.
Lima belas menit berlalu sia-sia. Dewangga kembali membawa minuman dingin dan beberapa bungkus camilan cokelat dan satu cup es krim. Dia menyerahkan tanpa ragu, bilang katanya perempuan suka makanan manis saat stress. Dia juga memberikan tisu dan aku segera mengusap wajah dengan benda putih itu.
"Udah lama ya," katanya tak kupahami. "Nggak lihat kamu nangis."
"Memangnya?" tanyaku sembari mengusap hidung.
"Di sekolahan. Habis dapat gencatan mental dari anak-anak cewek lain. Kayaknya kamu nggak sadar kalau udah nangis di tengah jalan." Dan Dewangga menggeleng tak habis pikir. "Kayak baru kemarin lihatnya."
"Sudah sepuluh tahun, Mas. Kayak kemarin apanya maksudnya."
Dewangga cuma tertawa ringan.
"Kok kamu udah nangkring di depan sih, Mas, pas aku keluar. Kayak udah nyiapin diri buat mengantar kepulanganku aja."
"Menurut kamu enggak?"
"Memangnya iya?" tanyaku takjub. Dewangga mengangguk senang.
"Kemarin memang ketemu sama Ace pas mau ke kamarnya Abin. Oy bilang besok Anindhya disuruh pulang masih pagi. Aku kira nggak sepagi ini, tapi untungnya nggak telat."
"Oy?"
"Oy itu Nevan Cakra."
Aku menatapnya takjub. Nevan Cakra itu nama yang bagus. Bagaimana bisa dipanggil Oy? Sama sekali menghilangkan nilai estetikanya.
"Justru mama Oy itu yang bagus. Nama itu punya sejarah panjang. Maya Dewi nggak pernah memberi nama buat Nevan Cakra. Semua orang jadi panggil dia dengan Oy."
"Maya Dewi siapa lagi?"
"Ibunya Oy."
Aku menggeleng lemah. "Aneh banget kalian. Gimana ceritanya bisa nggak dikasih nama? Kalau Maya Dewi nggak mau kasih nama, ayahnya bisa kasih nama."
"Dia lahir tanpa ayah," jelas Dewangga. Namun tak ada raut bersedih, dia malah terkekeh ketika terlihat sedang mengingat sesuatu. "Maya Dewi diperkosa. Terus bunting. Percobaan menggugurkan kandungan sudah dilakukan. Maya Dewi sampai pernah sekarat, tapi bayi dalam perutnya masih sehat. Maya Dewi nyerah dan melahirkan Nevan Cakra."
KAMU SEDANG MEMBACA
All That is Lost Between Us (Selesai)
ChickLitDewangga bisa membaca pikiran orang. Anindhya bisa membaca pikiran Dewangga seorang. Di usia 26 tahun, hidup Anindhya tak lagi semudah ketika ia masih jadi bocah. Ia menyukai Biru dan disukai Satria. Namun di suatu kesempatan, datang Dewangga yang...