3. Nazar

20.7K 3.1K 320
                                    

Kehadiran Mas Biru tak ubahnya kebahagiaan serta kedukaan. Rupanya keluarga yang mengadakan pesta pernikahan, masih satu kerabat dengan mantan istrinya. Pikiranku mengatakan dia menerima tawaran jadi fotograger karena ada Layla di sini. Sebab siang hari di jam makan siang, aku melihatnya duduk berdua dengan Layla. Queen dia pangku. Senyumnya tak luntur-luntur seolah memang ia sangat bahagia. Dia memang bahagia.

Aku merutuk diri yang kelewat bodoh. Jika boleh minta, aku mau cinta saja sama Satria. Namun cinta tak bisa diatur. Kupikir cinta masih dikendalikan otak. Rupanya salah. Cinta tak bisa dikendalikan otak. Makanya saat aku sadar begitu bodoh dengan jatuh cinta pada duda, tak ada yang bisa aku lakukan selain menyingkir pelan-pelan.

Makan siangku jadi tak selera. Rasanya kenyang patah hati. Biasanya aku bahagia bekerja mengurus pernikahan begini. Sekarang, seolah hidupku tak berarti lagi. Aku mau pulang, tetapi tanggung jawab belum selesai.

Duk!

Lamunanku dikejutkan oleh Satria. Ia meletakkan piringnya ke meja, agak membanting. Wajahnya yang biasa jenaka dan suka bercanda, terang-terangan bilang naksir aku, kini tampak kesal.

"Makan, Mbak!" Ia mendesis. "Nggak usah nengok sana. Nengok sana," katanya sembari menunjuk arah berlawan dengan keberadaan Mas Biru.

Alih-alih membantah, aku lebih memilih menurut. Nasib kami sama. Dia suka aku, aku suka Biru. Aku suka Biru, Biru suka Layla. Bedanya aku sadgirl dan Satria tampak lebih tegar.

"Naya." Kini, Mbak Ace yang menyentuh pundakku. "Cepat makan, acara selanjutnya sudah mau mulai."

Aku mengangguk dan mulai menyuapkan makanan dengan berat hati. Sayangnya makananku sudah betul-betul teraduk dan aku tidak suka makan dengan cara seperti ini. Mama juga tidak suka aku membuang makanan. Betapa kehadiran Biru sudah menyusahkan aku. Belum sempat mengeluh, makananku diambil alih, lalu diganti dengan yang masih utuh. Pelakunya Satria. Wajahnya masih bersungut-sungut saat itu.

"Kenapa?" tanyaku tak paham.

"Makan itu. Makanya waras dong. Nyusahin kan, kalau begini."

"Gue enggak minta ganti." Sesendok nasi ia masukkan ke mulut besar-besar. Setelah empat bulan bekerja, ia tak lagi canggung di sini.

"Makan saja, Mbak. Gue makan ini," katanya tanpa menatapku, sementara lauk mulai ia tambahkan untuk memenuhi mulut. Aku terdiam, menatapnya dari samping. Agak terkejut sebab ia begitu tegar. Sorry, Satria, seandainya boleh milih, aku milih cinta sama kamu. Namun sebagaimana kamu juga tidak bisa memilih harus cinta sama siapa, aku pun pasrah saja.

Bella menepuk pundakku demi melihat pemandangan menyedihkan ini. "Kalian sama-sama sad. Gue yakin kalian nggak bisa bersama. Jadi, Satria harus belajar segera move on dan Naya harus segera cari pengganti."

"Bella," potong Satria dengan mata melotot. Bella segera menghentikan protesannya.

"Nol ketemu nol hasilnya nol. Minus ketemu minus semakin minus. Buat menjalin sebuah hubungan, kalian harus sama-sama positif supaya perkembangan jadi positif. Semoga paham, ya, anak muda. Umurmu masih terlalu bocah buat Naya yang sukanya cowok dewasa."

"Minus ketemu minus itu positif, Bella," ralat Satria. 

"Well, itu kalai dikali atau dibagi. Ini dijumlahkan." Lalu Bella menambahkan lagi, "Lagian lo terlalu bocah, Satria," katanya mengulangi pernyataan sebelumnya. 

"Bocah kayak gue menggemaskan."

Iyuh, gelinya ....

"Jijik, Sat," cibir Bella melengos.

All That is Lost Between Us (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang