19. Celaka

13.6K 2.7K 291
                                    

Dewangga menanggapi sesauatu persoalan lebih dewasa dari dugaanku. Barangkali, karena dia bisa membaca pikiran orang lain sehingga sebelum sesuatu terjadi, dia lebih dulu tahu. Atau mungkin karena Nevan Cakra selalu memberinya bocoran soal kejadian yang akan terjadi, sehingga dia tahu apa yang akan terjadi. Intinya, dia selalu tahu kejadian yang belum terjadi.

Jadi, aku memutuskan untuk mengatakan soal Mas Abin yang melarang aku terlalu dekat dengannya, dan Dewangga hanya mengangguk tanpa pikir panjang. Seolah Mas Abin yang bersikap begitu bukan masalah untuknya.

"Sebelumnya Mas Abin enggak begitu, kenapa dia jadi begitu?"

Dewangga menggeleng sembari tertawa pelan. "Coba lain kali tanya sama Abin langsung."

Aku melepasnya pulang setelah Dewangga menyerahkan aku kembali pada Mas Abin, Mama dan Papa. Langkahnya meninggalkan rumah ini teratur, dan menyempatkan tersenyum sebelum betul-betul pergi dengan motornya. Tak tanggung, Mas Abin segera memintaku ke kamarnya selepas itu.

Aku merasa, kini bukan waktunya lagi untuk bercanda. Mas Abin sangat serius dan aku rasa juga, dia keberatan dengan keputusannya sendiri. Gurat ragu dan sedih menyelimuti wajahnya. Apakah persoalan Mbak Ace atau persoalan Dewangga yang membuatnya sebingung itu. Namun aku rasa, beberapa waktu telah terlewati dan dia tak lagi pusing soal Mbak Ace. Aku tidak lagi tahu kabarnya, tetapi aku pikir mereka lebih baik sekarang.

Tidak segera ada kalimat yang Mas Abin katakan sampai puluhan menit kemudian. Dia hanya sibuk membolak-balikkan halaman buku, sesekali menatapku dan sesekali menghela napas. Dia sedang gelisah sekali. Matanya bergerak-gerak tak tentu. Pastilah bacaan itu tidak masuk ke dalam otaknya sebab otaknya sedang penuh oleh pikiran lain.

"Dewangga nggak bilang apa-apa, Ya?"

"Soal apa?" Aku menanggapi cepat—bahkan terlalu cepat.

"Soal apa pun, yang kamu pikir penting."

Aku mengedik, berusaha mengingat tetapi tidak ada. Kami hanya membicarakan soal hari yang telah kami jalani, soal hobiku dan hobinya, cita-cita dan harapan. Semuanya normal.

Mas Abin tidak lanjut bicara karena ada telepon masuk. Dia menyebut nama Mbak Ace dan mengatakan bahwa sedang bersamaku, butuh waktu agak lama untuk bicara berdua. Aku pikir kami tidak punya masalah apa pun saat ini kecuali soal keinginan anehnya agar aku tidak dekat banget sama Dewangga.

"Balikan, Mas?" tanyaku.

"Balikan." Mas abin meletakkan ponselnya. "Menurut lo Mama bakal nerima Ace nggak, sih?"

"Kenapa nggak nerima?"

"Ya soalnya habis kayak kemarin, gue ragu Mama bakalan nerima Ace kayak dulu."

"Ya paling enggak harusnya Mama ngerti kalau masalah kayak gitu normal aja, dia juga pernah jadi menantu kali."

Mas Abin menggeleng lemah. "Kalau lo nerima Ace enggak?"

"Selama nggak kayak kemarin, ngapain gue harus nolak?"

Mas Abin mengangguk. Aku pikir kami berada di kondisi yang mirip. Dia dengan Mbak Ace dan aku dengan Dewangga. Bedanya, aku bahkan tidak melarang jika Mas Abin memutuskan menikahi Mbak Ace, sekalipun Mbak Ace tidak mau tinggal di rumah ini. Aku mengerti bahwa kapan waktunya, aku dan Mas Abin akan berpisah juga. Kami akan memiliki keluarga masing-masing.

"Seharian ini aku coba buat cari alasan kenapa Mas nggak suka sama Dewangga."

"Nggak ada," sahut Mas Abin cepat.

Aku semakin tidak mengerti dibuatnya. Lantas kenapa? Jika tidak ada alasan, seharusnya tidak ada larangan. Akibat hanya muncul karena adanya sebab.

Aku dilarang memperoleh jawaban atas keanehan itu. Mas Abin memintaku segera tidur. Besok, kami akan pergi untuk membeli keperluan camping. Weekend hanya tinggal menunggu hari. Nevan Cakra yang mempersiapkan segala kebutuhan umum camping dan aku hanya mempersiapkan kebutuhan pribadi. Tentu saja, Mas Abin akan turut serta di acara itu.

All That is Lost Between Us (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang