Adalah kejadian malam itu, Dewangga betul-betul tak punya pilihan. Ketika Layla meneleponnya untuk mengabarkan kondisi Biru yang drop tiba-tiba. Kritis, dan butuh penanganan segera. Tak lama setelahnya, Maria Hartono, neneknya sendiri, menghubunginya untuk menagih janji. Janji yang pernah dikatakan Dewangga beberapa tahun silam, untuk memenuhi tanggung jawab terberat yang tak pernah dia ketahui juga.
Malam itu adalah malam terberat sepanjang hidupnya. Sebab dia harus meninggalkan sang kekasih di kamarnya yang dingin seorang diri. Dewangga antara rela dan tak rela. Meski sejak jauh hari dia telah mempersiapkan diri untuk ini, dia tetap tak rela. Anindhya tertidur di sampingnya, pulas dan nyenyak. Malam-malam sebelumnya bahkan gadis ini tidak nyenyak tidur. Selalu menghubunginya satu jam sekali. Meneleponnya sehabis subuh. Menanyakan kabar setiap setengah jam sekali saat dia di kantor.
Dewangga cukup tenang melihat Anindhya begitu nyenyak tertidur di sebelahnya, dan berpikir dia ingin berlama-lama hidup dengan Anindhya. Barangkali, dia bisa menikah dengan Anindhya, mempunyai anak, dan menghabiskan setiap malam dengan tidur nyenyak begini.
Namun janji dan tanggung jawab membawanya pergi malam itu, setelah Dewangga melingkarkan selimut di tubuh Anindhya, mencium keningnya, pipinya, dan bibirnya. Dia meninggalkan Anindhya dengan berat hati. Pintu ditutup pelan, langkahnya juga tidak bersuara. Namun, Nevan Cakra tetap terbangun.
"Hati-hati," pesan Nevan Cakra.
Dewangga tersenyum lebar, membuat kedua matanya menyipit, seolah kematian adalah hal menyenangkan yang telah dia tunggu-tunggu.
"Jaga pacarku ya, Bang."
Di tempatnya berdiri, Nevan Cakra tak kalah tenang, mengangguk khidmat. Dibiarkannya Dewangga pergi sendirian. Dia melihat tubuh Dewangga yang tinggi menghilang dari pintu. Air matanya lalu jatuh. Lelaki itu, yang dulu kelaparan dan pernah hampir mati dan ditolong oleh ibunya, Maya Dewi, kini akan mati dengan sengaja. Anak itu, yang pernah datang padanya dengan keinginan konyol, kini akan meninggalkannya. Anak itu, yang sangat Nevan Cakra sayangi, kini akan melakukan pembunuhan berencana untuk dirinya sendiri.
Nevan Cakra tak kuasa membiarkannya pergi begitu saja, sehingga dia berlari keluar dan menyusul Dewangga yang baru saja melaju dengan motornya. Nevan Cakra membuntutinya dari jarak yang cukup.
Dewangga mengendarai motornya begitu cepat. Menyalip kendaraan lain seperti pengguna motor yang brutal dan menyebalkan. Di balik helmnya beberapa meter di belakang Dewangga, Nevan Cakra menangisi itu. Menangisi dirinya yang akan ditinggalkan sendirian, menangisi keputusan Dewangga, menangisi keadaan yang kejam untuk seorang anak pemulung. Pada sebuah jalanan yang lengang, tangisnya lebih keras lagi. Dewangga melepaskan stang motor dan kendaraan itu melaju tak terkendali. Bunyi barang pecah dan hancur terdengar tak lama kemudian. Nevan Cakra memelankan motornya sendiri ketika Dewangga akhirnya menabrak pembatas jalan dan terlempar ke ruas jalan yang lain.
Pengguna jalan mulai berhenti di sekitar tempat kecelakaan. Nevan Cakra salah satunya. Dia berhenti di dekat Dewangga yang terkapar tak sadar. Tak ada yang dia lakukan selalu menonton sambil menangis. Beberapa waktu tubuhnya diam kaku, sampai ketika sirine ambulan terdengar nyaring, Nevan Cakra memutuskan meningggalkan tempat itu seorang diri.
Selamat jalan, Dewangga.
***
Yang tidak diketahui Nevan Cakra, Dewangga sempat bertemu Lucky Prize sebelum memutuskan pergi malam itu.
"Antarkan pacarku pulang ya, Papa," katanya pada lelaki itu. Tak jauh darinya, mamanya tersedu sedan seorang diri, tak mau memaafkan keputusannya ini. Namun Dewangga telah memutuskan, dan bagaimanapun, nanti mamanya harus memaafkan dia.
"Jangan buat dia tau sebelum sampai rumah, Papa."
"Hati-hati, Nak."
"Aku harus sengaja nggak hati-hati untuk ini."
Lalu Dewangga pergi dan Lucky Prize izin pada istrinya untuk masuk rumah Nevan Cakra, menembus tembok dan pintu dan masuk kamar Dewangga. Dia terjaga sepanjang malam di sana. Lalu pura-pura tidur saat hari menjelang pagi dan kekasih putranya hendak bangun. Dia mengantarkan kekasih putranya sampai rumah, dan pamit setelah mengetahui Nevan Cakra akan segera mengabarkan berita duka itu.
Sementara itu, di malam yang sama Mira Hartono juga datang ke kediaman keluarga Budiman. Dia akan memberikan kesempatan terbaik agar putranya bisa bersama kekasihnya di malam itu, sehingga keluarga si gadis tak perlu khawatir karena anak gadisnya tidak pulang. Mira Hartono menjelma sebagai Anindhya, pulang dengan selamat dan wajah ceria, lalu izin keluar rumah di pagi hari saat Anindhya yang sesungguhnya telah tiba diantarkan suaminya.
***
Biru tahu mengapa Anindhya datang kepadanya siang itu. Dia hampir menangis, hampir memutuskan membunuh dirinya sendiri, tetapi tak sanggup mengingat Layla. Meskipun Anindhya tidak mengatakan apa pun soal Dewangga, tetapi Biru tahu bahwa dia akan menjadi penyebab utama gadis itu kehilangan cintanya.
Jiwanya terguncang hebat. Untuk cintanya kepada Layla, dia harus membuat seorang gadis kehilangan cinta. Selalu ada hal yang harus dibayar untuk cintanya dengan Layla. Ibunya menjadi yang pertama, anaknya menjadi yang kedua, lalu Dewangga. Kenyataan itu membuatnya tak sanggup bertahan. Bayangan kematian ibunya begitu jelas, seolah memakinya dan mengutuknya karena telah membuat banyak orang terluka.
Sore itu, akhirnya dia kalah melawan dirinya dan pikirannya sendiri. Dadanya sesak dan detak jantungnya melemah. Biru terkapar tak sadar di brankar rumah sakit. Itu adalah sore saat Layla baru kembali dari kamar mandi. Wanita itu berteriak nyaring sembari menangis keras. Seorang suster menyusulnya, diikuti dokter dan suaminya memperoleh pertolongan secepatnya.
Namun, Layla tidak tahu bahwa Dewangga yang akan menyelamatkan Biru. Dia menunggu suaminya tanpa berhenti menangis. Tidak makan dan tidak minum. Kemudian, dia dikejutkan dengan kedatangan Maria Hartono. Rasa sedihnya bercampur dengan ketakutan yang kental. Layla menunggu dengan cemas apa yang akan dikatakan wanita tua itu, dan sungguh tak menyangka saat wanita itu memintanya menghubungi Dewangga.
"Dia harus tau kondisi Biru," kata Maria Hartono.
Layla hanya berpikir bahwa dia memang harus menghubungi Dewangga dan Nevan Cakra. Begitu telepon terhubung, dengan isak tangis yang belum reda, Layla berkata: "Suamiku butuh maaf darimu, datanglah ke sini, Dewangga."
"Dia akan selamat," balas Dewangga.
Layla tidak terhibur dengan itu, dan justru semakin menangis keras. Dia masih tidak tahu bahwa Dewangga yang akan menyumbangkan nyawa untuk suaminya, sampai pagi ketika dia mendapat kabar Dewangga sama kritisnya dengan Biru, dan surat wasiat itu dibacakan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
All That is Lost Between Us (Selesai)
ChickLitDewangga bisa membaca pikiran orang. Anindhya bisa membaca pikiran Dewangga seorang. Di usia 26 tahun, hidup Anindhya tak lagi semudah ketika ia masih jadi bocah. Ia menyukai Biru dan disukai Satria. Namun di suatu kesempatan, datang Dewangga yang...