Selama 12 tahun menempati kota ini, Anindhya, telah terlalu banyak kematian yang aku saksikan. Hartono memiliki enam istri dan memperoleh 21 anak dari istri-istrinya. Maria adalah istri terakhirnya yang memberikan tiga anak: Andi, Samuel dan Mira Hartono. Mira, satu-satunya anak perempuan di keluarga itu, Anindhya. Namun menikahi seorang pemulung membuat keluarga Hartono kehilangan keturunan perempuan satu-satunya.
12 tahun ini merenggut hampir semua keluarga Hartono. Istri-istri dan anak-anaknya, menantu dan cucu-cucunya, mereka mati berganti-gantian. Tak ada pola khusus, kadang kala istri Hartono, kadang anaknya lebih dulu, kadang pula cucunya. Ini terasa agak mustahil dan aneh, tetapi begitulah yang terjadi. Harta-harta peninggalan Hartono perlahan hangus dan terkuras. Satu-satunya yang bertahan adalah harta yang ditinggalkan untuk keluarga Maria, yang kini dipimpin oleh Nevan Cakra. Dan pula, satu-satunya keluarga yang bertahan juga hanya keluarga Maria. Itu pun, menantunya Maria telah mati semua. Dua anaknya, Andi dan Mira, juga telah tiada.
Kematian demi kematian menyapaku seolah tanpa jeda. Sehingga lambat laun, aku tak lagi khawatir mendengar berita orang mati. Dan justru aku bermain tebak-tebakan kapankah datang giliran aku mati. Siapakah yang akan mati terakhir kali di keluarga Maria Hartono. Kupikir Queen, karena dia tidak menyandang nama Hartono, dan dia personel termuda pula. Namun rupanya salah besar.
Keluarga ini seolah keluarga terkutuk. Entah dosa macam apa yang terjadi di waktu lalu, entah luka sesakit apa yang diberikan oleh Hartono pada orang lain, dan entah dendam seperti apa yang sedang dimainkan kepada kami. Nevan Cakra pun tak mampu melihatnya sama sekali, seperti dia juga tidak bisa melihat kapan seseorang akan mati dan kapan dia sendiri akan mati.
Keluarga ini memang berantakan, Anindhya. Berantakan sekali sampai sekali waktu, aku takut membawa kamu masuk ke dalamnya. Sekali waktu yang lain, aku melihat mamaku duduk di sebelahmu, memberi senyuman dan menarikku agar terhanyut dalam dirimu yang begitu rapi dan teratur.
Itu mamaku Anindhya. Mamaku hanya terlihat di sampingmu, tidak di samping orang lain. Itu pun tidak sering. Bahkan jarang. Dialah Mira Hartono yang rupanya pun hampir aku lupakan setelah 12 tahun hidup di NTT. Setelah waktu berlalu, setelah aku kembali teringat pada nama Anindhya, setelah aku sadar bahwa aku telah jatuh cinta seperti komodo, Mira Hartono datang di sampingmu.
Di tengah kekacauan keluarga ini, aku tidak lagi punya harapan berlebih. Harapan-harapan sirna seiring waktu. Aku hanya menanti dengan ketenangan kapan akan tiba kematian. Semakin ke sini, aku semakin dibuat cemas. Karena apa, Anindhya? Karena kamu.
Setelah beberapa tahun berselang, aku memutuskan untuk tidak pernah datang kepadamu. Namun di suatu hari yang pelik, Nevan Cakra berpesan agar aku menemui kamu, mencari kehidupan dari seorang gadis yang hidupnya sungguh teratur. Mungkin saja Tuhan memang menitipkan hidupku padamu. Aku senang, tentu saja. Namun, di bagian hidupku yang lain, aku semakin cemas juga.
Aku menunggu waktu mati, sementara semakin hari aku semakin mencintai kamu, dan semakin hari, aku yakin kamu mencintai aku pula.
***
"Mas, kamu nggak pa-pa?"
Dewangga menggeleng begitu tenang. Dia masih menyandar di sofa, seolah Queen yang meninggal dunia hari ini telah dia ketahui. Seolah sakitnya Biru sudah terlalu biasa.
"Kenapa aku harus kenapa-kenapa?"
Aku menggeleng. Bahkan aku yang bukan siapa-siapa pun terguncang kaget. Kabar yang dibawa Nevan Cakra hanya mirip kabar burung semata. Queen meninggal. Meninggal dunia? Ini seperti lelucon garing, tetapi aku yakin tak ada orang yang berniat menjadikan nyawa orang lain sebagai lawakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
All That is Lost Between Us (Selesai)
ChickLitDewangga bisa membaca pikiran orang. Anindhya bisa membaca pikiran Dewangga seorang. Di usia 26 tahun, hidup Anindhya tak lagi semudah ketika ia masih jadi bocah. Ia menyukai Biru dan disukai Satria. Namun di suatu kesempatan, datang Dewangga yang...