16. Maria Hartono

14.2K 3K 456
                                    

"Kok bisa lupa kalau dari SD sampai SMA barengan." Dewangga menelan bulatan baksonya setelah mengunyah beberapa kali. "Memangnya habis sekolah dua belas tahun barengan, bisa nggak kontak?"

"Buktinya bisa. Dulu Mas Abin yang dekat sama dia. Aku kan enggak pernah sekelas sama Mas Abin."

"Iya, sih. Dulu Oy bilang Abin bakal pacaran sama Ami, tapi pas Ami ditembak, malah nolak."

"Itu penolakan pertama tau." Aku terkikik mengingat masa ketika Mas Abin mengadu soal cewek yang telah menolaknya. Sebelumnya, dia selalu berhasil mengajak seorang cewek pacaran. Namun Mbak Ami memang beda, dia justru memberi wejangan soal nistanya berlaku sebagai playboy. "Tapi habis itu, Mas nggak pacaran lagi. Terus pacaran sama Mbak Ace, sampai sekarang."

"Mungkin nanti pacaran sama Ami."

"Kok tau?" tanyaku terheran-heran. Dewangga mengedik, mengatakan itu cuma tebakan semata merujuk pada kalimat Nevan Cakra waktu itu. Dia telah selesai makan bakso dekat kantor. Mangkuknya didorong ke tengah meja, lalu dia menyerupu es tehnya. Senyumnya muncul cukup lebar setelah itu.

"Ada mamaku."

"Hah?"

"Mamaku, di sebelah kamu."

"Mas ...." Aku menatapnya horor sementara dia menggeleng pelan. Waktu masih sangat sore untuk bisa melihat hantu, kan? Hantu hanya ada saat malam.

"Kata siapa?" tanyanya lalu tertawa geli. "Kalau percaya keberadaan hantu, hantu itu ada kapan pun."

Aku menggeleng lemah, ya Tuhan, capeknya kalau sama Dewangga terus. Aku dibuat terkejut berkali-kali. Aku bertanya di mana tepatnya mamanya berada, jika dia memang bisa melihatnya, dan dia bilang, mamanya di sebelahku. Cukup dekat, sedekat jarak duduknya denganku saat ini. Kuberikan senyum aneh pada udara di sekitarku, menyapa mamanya tak kalah aneh.

Tante Mira Hartono, ucapku dalam hati. Aku jadi membayangkan wajahnya yang dilukis begitu cantik dan sempurna di rumah Nevan Cakra. Seandainya aku bisa melihatnya juga, dan seandainya aku bisa ngobrol beberapa waktu, mungkin akan lebih baik meski agak menyeramkan. Mendadak keramaian tempat makan bakso ini terasa senyap, aku menatap sekitar heran, lalu menatap Dewangga yang tersenyum kecil. Entah dari mana, tetapi aku seperti mendengar sebuah kalimat pendek dari Dewangga.

Mamaku suka kamu, katanya. Kusipitkan mata saat suara itu terdengar lagi untuk memastikan bahwa bibir Dewangga tak terbuka. Mamaku suka kamu, Anindhya. Sejak lama, dia sudah suka kamu. Demi mendengar kalimat yang lebih panjang itu, aku meremas tangannya. Jantungku berdegub-degub dan mataku membeliak. Kutatap sekitar lagi, semua masih tampak sibuk dengan diri mereka sendiri, sementara aku merasa suasana tetaplah hening dan angin berembus tenang.

"Aku ngerasa aneh." Aku berbisik pada Dewangga. "Kita ...."

"Ssst."

"Kenapa?"

"Rasain aja."

Aku membuang napas. Dewangga meremas tanganku erat, ketika aku merasa semuanya semakin hening sebelum kembali normal beberapa detik kemudian. "Aneh," ucapku tergagap. "Cuma perasaanku atau memang barusan aneh?"

"Kayaknya sejak ketemu aku kamu ngerasa sering aneh, ya."

"Barusan aku ngerasa kamu diam tapi ada suara." Aku meneguk ludah agak payah. "Suara orang-orang hilang, tapi mereka kayak biasa aja. Horor gitu."

Dewangga cuma senyum sembari bergumam kecil. Aku menepuk tangannya kesal, sejak awal dia memang aneh. Semakin hari keanehannya semakin banyak. Aku menyelesaikan makan bakso lebih cepat, lalu kami keluar tempat itu dan bersiap pulang. Barulah, aku terpikirkan satu hal aneh lagi.

All That is Lost Between Us (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang