25. Mempertahankan

7.8K 1.9K 433
                                    

"Buang saja suratnya ke tempat sampah. Aku nggak akan tanda tangan."

Itu keputusan mutlak hari ini. Jangan harap aku memberikan izin untuk membiarkan Dewangga mati dengan mudah. Operasi jantung mengandung risiko tinggi. Kalau Dewangga mati lalu Biru selamat, paling tidak itu membahagiakan istri, nenek dan ayahnya. Jika mereka semua mati? Dewanggaku mati sia-sia.

"Jangan keras kepala, Nak."

Aku menyunggingkan senyum miring pada Maria. Sesungguhnya siapa yang kerasa kepala di sini?

"Ini keinginan Dewangga."

"Ini keinginan konyol Dewangga karena nggak punya pilihan, Nyonya. Jangan sok tau."

"Dewangga akan bersedih karena keputusan kamu ini."

"Maka biarkan dia bersedih selamanya." Sebab aku memilih melihatnya bersedih daripada harus mati bertanggung jawab pada apa yang tak seharusnya dia lakukan.

"Dewangga akan tetap mati meskipun kamu nggak menandatangani itu." Maria masih kukuh berusaha keras membujuk. Tanpa raut sedih, tanpa raut khawatir dan terluka. Dia masih setenang lautann yang dalam.

"Maka biarkan juga dia mati dengan sendirinya, Nyonya." Dan kini, aku mampu bertaruh bahwa aku mampu menyainginya. Aku tidak merasa takut dan terancam. Sekalipun, jika nanti Dewangga menjadi arwah gentayangan, aku juga tidak keberatan. Jika setelah mati arwahnya marah padaku karena keputusan ini, aku juga tidak keberatan.

"Kamu akan menyesal, Nak."

"Aku akan menyesal jika membiarkan dia bertanggung jawab pada sesuatu yang dia sendiri tidak tahu, Nyonya."

Maria terdiam selepas itu. Langkah tenangnya membawa tubuhnya keluar ruanganku. Di sudut yang lain, Samuel Hartono dan Layla terduduk lemas. Samuel masih tak banyak bicara dan Layla menangis tersedu-sedu sejak tadi. Mas Abin duduk di sisi yang lain dekat dengan Nevan Cakra yang membawa surat wasiat itu. Seorang kuasa hukum yang bertanggung jawab pada wasiat itu sama tak berkutiknya, duduk di sofa.

Sebetulnya aku marah pada Nevan Cakra. Bagaimana dia bisa membiarkan ini terjadi begitu saja. Jika dia tahu Dewangga akan mati, seharusnya dia kurung lelaki itu di kamar. Bukan membiarkan begitu saja. Saudara macam apa yang membiarkan saudaranya mati, kecuali Nevan Cakra berharap menguasai semua harta hak Dewangga seorang diri. Aku meragukan kesetiannya sama sekali. Jangan-jangan dia telah menunggu momen itu.

"Layla." Aku beralih dengan cepat. "Keluarlah, jangan di sini."

"Enggak sebelum kamu tanda tangan, Naya."

Aku hampir meledak dalam tawa dan tangis demi mendengar keteguhan hatinya juga. Dia sama keras kepalanya dengan Maria soal membunuh Dewangga dan menghidupkan Biru. Aku membenci wanita ini sebesar aku membenci Maria.

"Sampai Dewangga dikuburkan, atau sampai aku mati duluan, Layla." Aku menatapnya tak percaya. "Surat itu nggak akan pernah aku tandatangani."

"Kamu menghianati Dewangga, Naya."

"Bahkan jika semua manusia di bumi menyebut aku penghianat, aku memilih bunuh diri daripada tandatangan."

Tidak ada perlawanan yang cocok untuk kekeraskepalaan semacam itu. Maka aku akan membungkusnya dengan baik. "Pikir, Layla, jika kamu mencintai suamimu." Aku menggantung ucapan itu agak lama, memandangnya lurus dan penuh penilaian. "Kenapa nggak kamu serahkan jantungmu sendiri untuk dia?"

Itu pertanyaan besar dan penting. "Orang yang saling mencintai, rela mati demi pasangannya. Bukannya membiarkan orang lain mati untuk bisa hidup nyaman dengan pasangannya. Memangnya siapa Dewangga dalam hidup kamu, Layla? Dia sudah membunuh salah satu orang terbaik dalam hidup kamu? Apa yang dia lakukan sampai harus bertanggung jawab untuk kelanggengan hubungan percintaan kamu dengan Biru?"

All That is Lost Between Us (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang