Siput darat memang jadi objek fotografi makro yang umum. Hewan yang lambat bergerak itu agak menjijikkan saat dilihat dengan mata telanjang, tetapi bisa sangat cantik setelah diabadikan dengan kamera berlensa mahal, background hijau (paling kusuka) dan diakhiri dengan editan profesional. Namun tetap saja, daripada siput aku lebih suka lady bug. Hewan comel itu juga sering jadi objek fotogragi makro. Namun, kata Dewangga, persiapannya kurang dan mencari lady bug agak susah di sini. Jadi paling mudah adalah pakai siput kecil yang bentuknya agak gepeng.
Kalau Dewangga, katanya menyukai semua objek kecuali manusia. Kecuali lagi, jika manusianya aku, jika aku maka dia akan suka rela jadi tukang foto gratisan. Untungnya aku tidak begitu suka foto, jadi dia aman.
"Ular, ulat, katak, kupu-kupu, capung, embun, bunga, paling senang kalau ke Dieng pas di sana ada salju."
"Kalau ular nggak takut, ya?"
"Kalau foto hewan berbahaya pakai pengaman dan bareng sama yang punya. Aku milih foto hewan jinak."
Aku mengangguk paham. Dewangga menyingkir dari kamera di atas tripod setelah merasa setting kameranya pas dengan pencahayaan. Di depan kamera Dewangga sudah mengatur letak tanaman di dalam pot dan letak bunganya. Siput masih ada di dalam kontainer.
"Coba foto bunga, ya?"
"Iya."
Rupanya jadi tukang foto sulit juga. Untuk mengatur tempat saja lama. Belum lagi mengatur yang lain-lain. Peralatan yang dimiliki Dewangga juga cenderung mahal. Setelah dapat satu jepretan bunga, aku melirik Dewangga yang mengeluarkan siput dari dalam kontainer.
Yeah, kami sedang belajar foto. Tepatnya, aku belajar foto. Mengisi liburan—read: pengangguran — dengan diam di rumah rupanya membosankan. Tahu-tahu Dewangga mengajak untuk ikut foto-foto. Dia baru akan berangkat siang nanti ke tempat tinggal Nevan Cakra. Katanya di sana tempat dia biasa mengambil gambar karena banyak alatnya. Untuk mengisi waktu dari pagi sampai siang, aku diajari foto siput ini dulu.
"Berapa lama nunggunya?" Aku duduk di kursi. Siput sudah diletakkan di atas daun.
"Tunggu aja sampai posenya bagus."
"Dia nggak bisa disuruh pose aneh-aneh, ya. Harus kita yang nyesuaiin."
"Dia bukan manusia yang bisa diatur."
Aku tertawa kecil mendengarnya. Seolah, Dewangga ingin mengatakan bahwa siput bukan manusia yang akan mengikuti apa perintah orang lain. Dialah siput, yang ketika disentuh pun, bersembunyi di dalam cangkangnya.
"Nope, Anindhya. Aku nggak maksud gitu, tapi boleh juga pendapat kamu." Dewangga terkekeh sembari duduk di sebelahku. "Ternyata jadi siput enak juga. Nggak ada yang nyuruh jadi ini itu. Harus begini begitu. Apalagi harus ganti nama aneh."
Yeah, Dewangga membicarakan dirinya sendiri. Aku tertawa kecil saat dia menyerahkan minuman di dalam botol. Matanya mengamati gerakan siput yang sangat lambat.
"Tapi diatur pun boleh juga. Aku jadi menemukan apa yang mau aku lakukan sesungguhnya."
"Bukannya kalau terlalu banyak aturan malah nggak tau mau ngapain?" tanyaku. "Kayak ... selalu ngikutin aturan. Kemampuan sebenarnya yang ada dalam diri kita jadi bersembunyi. Gimana caranya menemuman apa yang kita mau kalau apa yang kita makan aja selalu dipilihin?"
"Sebagian orang begitu. Sebagian lagi justru nggak begitu; kami menemukan apa yang mau kami lakukan setelah hidup kami diatur."
"Kami?"
"Anggaplah aku sama Oy." Dia berdiri, tangannya sekaligus menarik tanganku dan dibawa mendekat ke kamera. Siput telah berpose cantik. "Fokus saja ke posenya siput."
KAMU SEDANG MEMBACA
All That is Lost Between Us (Selesai)
ChickLitDewangga bisa membaca pikiran orang. Anindhya bisa membaca pikiran Dewangga seorang. Di usia 26 tahun, hidup Anindhya tak lagi semudah ketika ia masih jadi bocah. Ia menyukai Biru dan disukai Satria. Namun di suatu kesempatan, datang Dewangga yang...