21. Larangan Bersedih

12.6K 2.8K 724
                                    

"Hai, Mbak Ami."

"Hai."

Gadis itu tersenyum lebar sekali saat menyambutku. Ruangannya ada di depan ruangan Nevan Cakra.

"Ada perlu sama Bapak Cakra?"

"Mau ketemu." Aku duduk di dekatnya. "Bisa enggak, ya? Aku nggak ada kepentingan pekerjaan sebenarnya."

"Bisa. Tunggu sebentar ya, sedang ada klien dari perusahaan sebelah. Mungkin sebentar lagi sudah keluar."

Aku menunggu beberapa menit sampai klien yang dimaksud Mbak Ami keluar dari ruangan Nevan Cakra. Lalu dia menelepon bosnya itu, mengabarkan kunjunganku siang ini. Aku memasuki ruangan Nevan Cakra, menyingkirkan keraguan yang tersimpan beberapa hari ini. Mas Abin tidak memberiku jawaban memuaskan sama sekali. Dia hanya bilang sekali bahwa Dewangga akan mencelakai diri. Tidak ada penjelasan lebih kenapa Dewangga mau melakukannya.

Aku juga tidak kuasa bertanya pada Dewangga secara langsung. Maka, satu-satunya orang yang aku pikirkan selanjutnya adalah Nevan Cakra. Paling tidak lelaki itu tahu sedikit hal soal itu. Aku hanya ingin tahu apa maksudnya mencelakai diri dan bertanggung jawab. Tanggung jawab macam apa yang ingin dilakukan Dewangga dan kenapa Mira Hartono memintaku menolongnya.

"Selamat siang, Pak."

"Duduk dulu, Anindhya. Tunggu jusnya datang ya."

Aku hanya tersenyum kecil, duduk di sofa bersebrangan dengan Nevan Cakra. Meja di tengah kami hanya terisi vas bunga mawar satu tangkai. Aromanya sampai terhirup, semerbak wangi yang kuat tapi terkesan sweet.

"Bawa saja kalau mau."

"Nggak perlu," sahutku kecil. Mungkin karena aku menatapnya lamat-lamat, Nevan Cakra jadi tau aku suka bunga itu.

"Itu pemberian Mira Hartono."

"Maka itu buat kamu." Nevan Cakra sudah menjaga Dewangga begitu lama, sehingga sepantasnya dia memperoleh hadiah semacam bunga harum itu. Jus yang dimaksud Nevan Cakra datang dibawa oleh seorang OB. Dia melakukan pilihan yang tepat karena aku rasa tidak bisa minum kopi saat akan membicarakan hal ini. Aku butuh yang segar dan manis seperti jus jambu ini.

"Dewangga akan mencelakai diri," ucapku, bernada sedih dan berat. Aku tak percaya Dewangga akan melakukannya. Dia, seorang lelaki yang selalu percaya bahwa takdir berjalan sebagaimana mestinya, mencoba akan melawan hukum alam kali ini.

"Mencelakai diri macam apa, Pak?"

"Mencelakai diri untuk bisa melepaskan jantungnya."

Senyumku kecut. Dugaanku tak salah. Aku telah menghubung-hubungkan antara sakitnya Biru dengan Dewangga. Terasa wajar saat aku tahu bahwa menjadi pendonor jantung harus orang mati. Maka, disimpulkan bahwa mencelakai diri, atau bertanggung jawab yang dimaksud Dewangga, adalah bunuh diri.

"Memang apa masalahnya sampai harus Dewangga?"

Nevan Cakra menggeleng, tak tahu dan siapa pun tidak ada yang tahu kecuali Maria. Hanya wanita itu yang selalu mengatakan bahwa Dewangga bertanggung jawab pada keadaan saat ini. Pada kematian-kematian misterius keluarga Hartono itu.

"Kematian seperti apa?"

"Kematian seperti kematian Queen."

Aku tak betul-betul memahaminya. Memang ada apa dengan kematian Queen, dan kenapa harus mempertanggungjawabkan hal yang tidak diketahui. Serta-merta aku teringat pada kalimat Maria Hartono waktu itu soal cinta dan kehilangan. Aku tak mengerti maksudnya.

"Saat Biru dan Layla menikah, Anindhya." Nevan Cakra memainkan jarinya acak, bergerak melingkar, menekuk dan kadang diam. "Ibunya meninggal. Itu bayaran pertama. Lalu bayaran kedua, anaknya meninggal."

"Itu takdir."

"Orang normal menyebutnya takdir."

Bagaimanapun, kata Nevan Cakra, kematian yang terjadi di keluarga Hartono terlalu aneh dan misterius. Diawali dengan menikahnya Mira dan Lucky, lalu meninggalkanya Hartono, disusul anaknya dari istri pertama, anak dari istri kedua, dan lalu disusul kematian Mira Hartono dan Lucky Prize. Kemudian kematian-kematian yang lain menyusul bagai tumbuhnya kecambah, cepat, mengejutkan. Demikianlah, kemudian keluarga Hartono tersisa mereka saja: Maria Hartono, Andi Hartono yang telah duda dan meninggal belum lama ini, Samuel Hartono dan istrinya, serta Biru. Dewangga, jika masih diakui sebagai keluarga sebab lelaki itu tak menyandang nama Hartono.

Namun, jika Dewangga masih dianggap keluarga, paling tidak lelaki itu tidak akan diminta mati demi menyelamatkan Biru. Lantas kenapa Dewangga dirawat jika pada akhirnya dia diminta mati juga? Aku berdesis usai keluar dari ruangan Nevan Cakra. Mataku agak memanas, tak terima dan tak siap dengan keadaan yang akan terjadi. Setiap malam selepas tahu bahwa Dewangga akan mencelakai diri, aku tidak bisa tidur nyenyak.

Alarm aku bunyikan satu jam sekali demi bisa mengirimkan pesan pada Dewangga. Jika lelaki itu telat membalas, jantungku seperti anjing diburu, berdetak kencang tak karuan. Setiap perpisahan kami setelah dia mengantar aku pulang, aku selalu menuntut jawaban pasti apakah besok pagi dia akan datang menjemput atau tidak. Dewangga selalu menjawabnya yakin.

"Aku akan jemput, pukul tujuh pagi."

Dia menepati janjinya. Seolah kalimat Mas Abin hanya omong kosong belaka. Namun aku tetap gelisah dibuatnya. Dewangga memang datang dengan ketenangan semacam itu. Dan bahkan, jika dia akan mati detik ini pun, aku ragu dia punya rasa panik. Dia tetap akan tenang sebagaimana biasanya. Sehingga setiap pagi rasa gelisahku meningkat tak terkendali, cemas menunggu kedatangan Dewangga yang tak pernah datang lebih dari pukul tujuh. Aku lega setiap kali melihatnya datang dengan jaket, kamera dan senyuman.

Aku menarik napas saat melihat Dewangga terlihat keluar dari dalam lift. Kuukir senyuman di bibir, menyambutnya dengan rasa bahagia yang meletup-letup sekaligus rasa cemas yang tersembunyi.

"Hai." Aku menyapanya sebagaimana biasa. Kini, aku juga berani memeluknya di kantor. Aku khawatir jika dalam waktu dekat ini, atau sewaktu-waktu yang tak pernah aku duga, tiba-tiba dia akan pergi dan aku kehilangan kesempatan memeluknya.

"Aku udah bilang kan ya, kamu nggak boleh ke ruangan Nevan Cakra sendirian?"

"Aku lupa. Maaf ya, lain kali aku ajak kamu buat masuk ke sana."

Dia terkekeh, terdengar hambar. Bahkan meskipun aku menyembunyikan kecemasan yang kian menggunung itu, Dewangga pasti mengetahuinya. Aku tidak bisa seperti Nevan Cakra yang bersikap seolah tidak ada apa-apa. Aku hanyalah Anindhya, yang takut kehilangan dan ditinggalkan, takut menghadapi kenyataan satu detik ke depan. Bagaimanapun, aku juga tidak mampu menyembunyikan pikiran dari Dewangga.

"Kamu masih dilarang bersedih, Anindhya," pesannya lemah. Aku menggeleng, lalu mengangguk dan mengusap air mata.

***

Nyengir. Bentar lagi tamat loh ini.

All That is Lost Between Us (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang