27. Akhir

7.6K 1.7K 384
                                    

"LANJUTKAN RJP!"

Kakiku langsung lemas melihat Dewangga diperlakukan seperti orang sekarat. Hawa terasa dingin menusuk sampai tulang. Jantungku seperti diremas-remas. Aku masih tidak percaya ini terjadi. Masih mengira mungkinkah ini hanya mimpi yang terasa nyata sekali.

Dokter-dokter dan suster-suster mengerubungi Dewangga. Alat-alat ditempelkan ke tubuh Dewangga mengikuti intruksi. Mereka panik sembari terus bekerja. Aku ingin mempercayai bahwa ini mimpi, tetapi ini terlalu nyata. Dewangga diperlakukan seperti orang sekarat.

Kenapa? Dia akan baik-baik saja. Selalu baik-baik saja.

Aku teringat momen kami telepon di malam sebelum tidur, saat keadaan masih baik-baik saja. "Tidur," katanya, mengingatkan waktu yang hampir tengah malam.

"Kamu belum tidur, Mas, jangan nasehatin orang kalau nggak bisa nerapin ke diri sendiri."

"Ha-ha-ha. Aku lagi kerja buat masa depan kita, Anindhya. Nikah butuh uang soalnya."

"Lagi ngerjain apa?"

"Pesanan video."

"Lama?"

"Lumayan. Mungkin baru selesai besok."

"Jangan suka begadang ya, jaga kesehatan."

"Nanti kalau kita sudah sekamar, janji nggak akan suka begadang."

....

Bangun, Sayang.

Aku kangen.

Kangen digombalin.

Kangen dijemput.

Kangen dipanggil sayang juga.

Aku kangen naik motor berdua, keliling Jakarta, dan ngobrol ringan soal hal remeh-temeh.

Kangen waktu diketawain karena pikiranku yang jelek dan ngawur ini. Kangen dapat kejutan. Kangen didongengi.

Aku kangen semuanya. Semuanya soal kamu. Jangan pergi dulu.

Please ....

Aku masih belum siap.

"NADINYA TERABA, DOK!"

"IRAMA JANTUNG SUDAH KEMBALI! STOP RJP!"

***

Suara monitor memenuhi gendang telingaku. Aku merebahkan kepala ke bed di samping Dewangga berbaring, menggenggam tangannya yang membengkak karena diinfus. Aku tahu Dewangga kuat, bahkan setelah semua sakit yang dia peroleh, dia masih kuat berjuang di sini.

Curang ya, Dewangga. Betapa Tuhan sayang kamu dengan menguji kamu begini. Aku iri. Sepanjang hidupku normal-normal saja. Jarang ada masalah yang sangat berat. Jika pun ada, masalah itu aku selesaikan bersama Mas Abin, bersama Mama dan Papa.

Tapi tenang saja, mulai sekarang aku akan menemani kamu kok.

"Anindhya."

Aku akan menemani kamu bahkan sekalipun jika aku harus berkorban, Dewangga.

"Nenek akan masuk."

Aku mengangguk, masih menatap Dewangga yang terlelap tenang. Atau sebetulnya kamu yang nggak suka hidup ya, Dewangga? Sudah capek mungkin, sudah ingin menyelami kehidupan orang mati dengan orang tua kamu.

Di saat aku sedang mempertanyakan hal itu, yang tidak akan dijawab selama Dewangga belum sadar, pintu terbuka. Aku tahu itu Maria. Aura yang dipancarkan, langkah kakinya dan bahkan ketenangannya pun sudah bisa dirasakan.

"Kita lanjutkan bicaranya, Anindhya."

"Silakan, Nyonya. Aku mendengarkan."

Aku menggenggam tangan Dewangga. Kuatkan aku, Dewangga. Kuatkan aku untuk tetap di sini. Untuk tidak menyerah memperjuangkan kehidupan kamu. Jangan lupa rayu Tuhan juga ya supaya kamu segera kembali, dengan aku.

All That is Lost Between Us (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang