"Aku nggak nyangka kalau pertemuannya maju satu hari." Dewangga berhenti di depan pintu ruangan di mana Mas Abin dirawat. "Takdir memang bisa diubah."
"Kamu bukan cenayang, Mas." Setelah dia selalu bicara dengan aku-kamu, akhirnya aku menyerah untuk pertama kali darinya dengan mengikuti cara bicaranya. Dia tersenyum dan membuka pintu. Ruangan itu sama sekali tak diisi oleh orang lain selain Mas Abin yang sedang membaca sebuah novel. Dia menyapaku dan Dewangga tanpa rasa terkejut, dan meminta Dewangga segera duduk.
"Apa kabar, Mas," katanya dengan senyuman tak enak hati. Dewangga menanggapinya dengan senyuman kecil yang ramah. "Gue sama sekali nggak ingat. Sorry."
"Udah terlalu lama buat diingat."
"Tapi gue serius kaget."
Aku menyipitkan mata menaruh curiga. Namun seolah tak peduli, Mas Abin justru terlihat asik meneruskan ngobrol dengan Dewangga, menanyakan seputar pekerjaan yang dia lakoni selama ini. Aku menopang dagu di sofa, mengamati interaksi mereka yang lebih terlihat seperti teman lama daripada orang baru kenal.
"Mas Nevan Cakra juga berkabar baik, Mas?"
"Dia selalu tau cara hidup dengan baik."
Nevan Cakra dan Mas Abin, aku tahu mereka punya hubungan yang baik. Namun dengan Dewangga? Entah. Bahkan aku tidak ingat kami satu SMA.
"Aku kangen diramalkan dan bertaruh ramalannya bakal terjadi betulan atau enggak."
Dewangga tersenyum dan melirikku sesaat. "Lain kali aku tanyakan kapan kamu menikah."
"Thank you, Mas, nggak perlu."
"Kalau perlu, sekalian dengan siapa kamu bakal menikah."
Mas Abin mendengus dengan wajah kesal maksimal. Namun, aku penasaran dengan pernyataan Dewangga tadi.
"Nevan Cakra bisa baca masa depan?" tanyaku berkerut-kerut. Dewangga tersenyum lebar menanggapinya, yang kuartikan sebagai bentuk persetujuannya.
"Kalau gitu coba ramalkan kapan aku menikah dan dengan siapa."
"Sama Dewangga," sahut Mas Abin. Dia berbaring lagi dengan wajah masam. Namun ketenangan Dewangga masih sama seperti tadi, berbanding berbalik dengan aku yang mulai berdebar-debar. Mas Abin menambahkan lagi. "Kalau nggak salah, kurang dari setahun lagi."
"Pasti Nevan Cakra pengarang."
"Dia pengarang yang beruntung. Hampir semua karangannya jadi kenyataan." Mas Abin bergidik lagi setelah itu. "Dia bilang Papa nggak akan jemput kamu waktu itu, dan ternyata benar. Dia bilang aku bakal kalah di olimpiade, ternyata benar juga. Dan banyak lagi."
Waktu hujan petir itu? Waktu susu kotakku habis? Waktu dia pegang tanganku?
"Iya, Anindhya," sahut Dewangga dengan cara paling mengerikan. Sejauh ini aku belum pernah melihat dia terlibat dalam emosi yang dalam. Dia selalu tenang dalam keadaan apa pun. Bahkan, jika suatu saat nanti dia akan mati kecelakaan, mungkin dia tidak akan berteriak kaget. Untungnya dia bukan perempuan. Jika perempuan, dan ketika akan diperkosa, dia akan diam saja dalam ketenangan yang abadi itu.
"Nggak setenang itu. Aku masih bisa panik."
Aku melengos secepat mungkin. Mas Abin tampaknya ngeri juga. Dia memukul lengan Dewangga dengan buku novelnya yang berwarna biru. Jangan salah, selain buku pelajaran dan buku bisnis, dia juga sering mencuri novelku di kamar.
"Kalau mau nyahutin pikiran orang mending minggir lo, Mas. Rumah sakit udah horor, nggak usah ditambah horor."
"Bawa Anindhya, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
All That is Lost Between Us (Selesai)
ChickLitDewangga bisa membaca pikiran orang. Anindhya bisa membaca pikiran Dewangga seorang. Di usia 26 tahun, hidup Anindhya tak lagi semudah ketika ia masih jadi bocah. Ia menyukai Biru dan disukai Satria. Namun di suatu kesempatan, datang Dewangga yang...