2. Dewangga

26.7K 3.5K 230
                                    

Blus peach, bawahan hitam, rambut bergelombang sepanjang punggung dibebaskan, make up paripurna—versiku—dan pekerjaan pasti. Terima kasih sebesar-besarnya pada Mama Ayna yang sudah mengajari putri semata wayangnya ini hidup mandiri.

Kutarik napas panjang sebelum keluar mobil. Gedung kantor sederhana milik Mbak Ace, tempatku kerja, masih terlihat sepi sekali. Jadwal kami hari ini adalah pesta pernikahan salah satu anak pejabat kabupaten yang pestanya akan dilangsungkan selama 3 hari 3 malam.

"Ace mobilnya mogok, Ya."

Aku menoleh pada Mas Abin yang sibuk dengan ponselnya. "Mau disusulin, Mas?"

"Gue aja yang nyusul, lo di sini."

Aku mengangguk, melanjutkan langkah memasuki kantor sementara Mas Abin memutar mobil. Sudah bertahun-tahun aku hidup dengan cara diantar jemput oleh Abinanda Ghifari Budiman itu. Suatu tragedi pernah hampir membuat nyawaku melayang. Mama yang baru belajar mobil dulu, memberanikan diri mengajakku pergi belanja. Nahasnya kami kecelakaan di jalan dan terluka cukup parah sehingga papa dan Mas Abin ngotot enggak akan membiarkan kami berdua mengendarai mobil sendiri.

Kubuka pintu lobi dan melangkah dalam keheningan. Fen, yang bekerja membersihkan tempat ini tampaknya sudah selesai urusan. Dia tersenyum menatapku, sebelum melangkah ke dapur dengan pincang.

"Pagi, Mbak Naya."

Bibirku menipis seiring dengan langkah kakiku yang memelan. Lelaki yang tingginya menyamaiku menyejajarkan langkah.

"Mbak sudah sarapan belum?"

"Memangnya kenapa?"

Biru Satria Muda, berondong yang gesit mendekatiku dua bulan ini menggaruk tengkuk.

"Memangnya kenapa lagi sih, Mbak, kalau cowok tanya ke cewek sudah sarapan atau belum? Pasti mau ngajakin sarapan bareng."

"Ya bisa jadi lain hal kan, misalnya mau—"

"Ya! Naya!"

Aku berhenti bicara, bersama Satria menoleh ke belakang dan menemukan Bella, rekan kerja kami yang lain, sedang berlari-larian. Napasnya ngos-ngosan begitu tiba di tangga. Badannya membungkuk, berusaha menormalkan napas.

"Kenapa, Bel?" tanyaku setelah melihatnya cukup tenang.

"Fotografernya yang kemarin nggak bisa hadir. Dia kecelakaan, Ya, duh gue bingung. Udah nembusin beberapa fotografer pada penuh semua. Kita gimana dong ini?!"

Aku terbengong beberapa detik sebelum sadar dan meminta Bella tenang dulu. "Semuanya kecelakaan, Bel?"

"Iya, ya ampun! Mereka berangkat satu mobil dan kecelakaan semua!"

Acaranya besok dimulai. Mencari fotografer dalam waktu satu hari cukup sulit. Kami sudah biasa menggunakan jasa beberapa orang, dan kalau Bella bilang penuh, artinya mereka sudah mengambil pekerjaan lain.

"Ini sampai gue cari ke channel lain nggak ada yang bisa besok, gue ngeri kalau Mbak Ace ngamuk."

Sama, batinku ikut meringis. Aku meminta Bella masuk dulu dan mencari solusi bersama-sama. Bagaimanapun, ini bukan kesalahannya ataupun kesalahan sang fotografer. Kecelakaan adalah kondisi tanpa rencana. Mbak Ace atau siapa pun tidak punya hak memarahi salah satu dari kami. Jika mau, marah saja pada Tuhan. Kecelakaan adalah takdir. Atau mungkin marah pada setan juga boleh. Biasanya kecelakaan terjadi juga karena godaan setan.

Beberapa lama kami mencari jalan keluar, menghubungi vendor fotografer yang kami kenal tapi tak pernah bekerja sama. Mbak Ace datang tak lama setelah itu. Heran menatap kami yang sudah terlihat serius di meja rapat.

All That is Lost Between Us (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang