4. Kalau saya ajak Mbak nikah bagaimana?

19.2K 3.3K 485
                                    

Apakah statusku sekarang sudah bisa disebut pelakor?

Aku tahu Layla enggak suka kehadiranku di ruangannya. Aku pun menyadari benar, ia menarik perhatian Mas Biru dengan meminta ambilkan minum, dan seolah mau menunjukkan padaku bahwa Mas Biru masihlah miliknya. Ini kisah cinta yang berat, ternyata enggak seringan gula kapas.

Aku memutuskan pamit setelah sepuluh menit di sana menyaksikan perhatian Mas Biru pada Layla. Cemburu pada orang yang bukan siapa-siapa kita itu sakitnya berkali-kali lipat. Holy shit pada hati yang lemah dan bego ini. Juga pada isi kepala yang kalah dengan perasaan. Serta pada ego yang menolak kalah karena Mas Biru tetaplah seorang duda.

"Thank you sudah jenguk saya, Naya. Makasih juga kamu sudah mau bantu jaga Queen."

"Sama-sama. Aku pergi dulu ya, Mbak."

"Hati-hati, Naya," pesan Layla padaku.

Setelah pintu tertutup, aku segera meyakinkan langkah menuju kamar mandi. Mungkin inilah sebentuk keadilan dari Tuhan. Hidupku teratur, dengan Papa dan Mama yang sangat baik, juga satu Kakak yang luar biasa protect. Akan sangat monoton jika kemudian kisah cintaku juga mudah.

Mas Abin sudah melewati masa rumit dengan Mbak Ace, sementara sejauh ini aku selalu ia jaga dari para lelaki. Mungkin waktuku menjalani masa-masa ngenes soal cinta sudah tiba.

Selesai dari kamar mandi, aku kembali ke kamar. Waktu sudah menunjukkan hampir pukul 12 malam. Mas Abin pun sudah tidur sementara Mama dan Papa tampak heran melihatku.

"Kok baru balik, Ya? Kamu ke kamar mandi di rumah?" tanya Mama.

Aku tersenyum dan menggeleng lemah. Aku mampir ke mantan istri tapi masih terasa istri duda kesayanganku, Ma. Dan patah hati adalah oleh-oleh yang kubawa. Aku yakin Mama tidak suka, makanya aku diam saja.

"Mama ada kenalan nih, yang mau sama kamu."

Kenalan cowok? Aduh, enggak perlulah, dikenalkan. Gampang kalau cuma cari pacar yang mau sama aku. Yang sulit justru mencari cowok yang membuat aku mau sama cowok itu.

"Coba aja kenalan, masih bujang," imbuh Papa santai. Aku bersidekap saat tangan Papa merangkul pundak Mama. "Katanya Mas mau nikah setelah Naya nikah."

Dan yeah, kecupan di pipi itu tayang di depan mataku secara live. Aku jadi hilang fokus dengan apa yang Papa katakan dan bergidik dengan kelakukan lelaki beruban itu.

"Papa harus diingatkan nggak sih, soal usia?" tanyaku menyindir, yang dibalas Papa dengan kekehan ringan.

"Karena Mama cantik."

"Aku juga cantik tapi nggak pernah digituin?"

"Katanya malu kalau Papa cium?" Lelaki itu mengulangi kalimatnya dengan susunan kata yang berbeda. "Cepat cari pasangan, kasihan Mbak Ace nggak nikah-nikah."

Aku menggaruk tengkuk. Seandainya mencari jodoh semudah memancing ikan di tengah laut, sudah tentu aku dapat banyak jodoh sekarang. Namun saat ini hatiku saja masih terjerat sama orang yang sayang sama orang lain. Ribet, Ma. Berat.

Aduh!

Kuusap lengan yang baru saja menjadi korban kekerasan Mama. Ibu Peri ini memang sangat lembut, tetapi ada kalanya Mama menjelma menjadi Peri Hitam alias peri jahat serupa ibu tiri.

"Mama jodohin kamu ya?!"

Enak saja! Daripada memulai drama keluarga yang rumit, aku memilih segera beranjak dari sofa. Pulang sepertinya adalah pilihan bagus. Patah hati butuh waktu sendiri, keadaan ruangan yang hening dan lampu mati. Kadang kala keinginan hati memang teramat menyusahkan. Patutnya jika sedang berduka adalah mencari kesenangan di luar, agar tak sampai terjadi depresi. Ceritakan pada orang terkasih atau mentoknya pada pakar cinta-psikolog. Namun, sekali lagi, hati tak masuk di logika pada waktu-waktu tertentu. Butuh lebih lama lagi untuk menjadi waras dan sadar bahwa secepatnya harus mencari pengganti Sang Duda.

All That is Lost Between Us (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang