"Sebetulnya kamu dilarang bersedih, Anindhya."
"Aku lihat kamu kecelakaan di depan. Mama kamu datang dan minta aku tolong kamu."
"Bahkan meskipun memang aku celaka nanti, kamu tetap dilarang bersedih untuk itu."
Aku menggeleng, kembali tersedu-sedu lagi. Kenapa aku merasa keinginan membahagiakan Dewangga dengan nasib buruknya saling berkaitan. Apakah ada alasan lain mengapa aku begitu ingin menuruti apa mau Dewangga selain karena aku mencintainya?
"Pulang ya, Anindhya."
"Aku ikut kamu."
"Enggak bisa, kamu harus pulang sama Abin sekarang."
Aku menggeleng keras, tak mau menurut kali ini. Dewangga tak bisa berkutik banyak. Dia membiarkan aku tetap merengkuh lengannya di pinggir jalan. Wajahnya masih setenang biasanya, seolah tak ada hal menakutkan yang akan terjadi.
"Jangan datang ke tempat kayak gini lagi, Mas Dewa."
"Enggak, cuma sekali ini."
"Aku mau pergi sekarang."
"Nggak bisa, kamu nanti sama Abin ya."
"Aku maunya sama kamu."
Dia menatapku sembari menggeleng lemah. Tangannya meraih pipiku, diusap-usap lembut seolah meyakinkan bahwa dia akan baik-baik saja. Namun aku tetap tidak percaya.
"Kamu ikut aja aku sama Mas Abin."
"Nggak bisa, sayang."
"Mas!"
Dia menggeleng lega, tersenyum kecil dan memintaku berdiri. Aku kukuh duduk di pinggir jalan, dan Dewangga menarik tanganku sampai aku berdiri. Kini, aku memeluknya lagi, tak akan mau lepas sampai dia memutuskan ikut aku atau aku yang dibiarkan ikut dia. Dewangga tergelak akan itu dan sejenak membiarkan semuanya terjadi tanpa perlawanan. Sialnya, Nevan Cakra datang tak lama setelah itu.
"Pergi ya, Anindhya," katanya dengan senyuman geli. "Biar Dewangga jadi tanggung jawabku."
Sebetulnya, aku masih tak percaya juga dengannya. Namun Nevan Cakra lebih terlihat menjanjikan. Aku melepas Dewangga dengan berat hati. Dia mengantarku sampai mobilnya Mas Abin, membukakan pintu dan meminta aku masuk.
"Pakai sabuk pengamannya."
"Kamu di sini aja!"
"Besok pagi aku jemput, ya."
Aku menggeleng tak percaya, tetapi menurut memakai sabuk pengaman.
"Hati-hati."
"Mas Dewa!"
Rambutku diacak-acak sebentar sebelum pintu mobil dia tutup. Dewangga kembali ke motornya yang kini sudah dinaiki Nevan Cakra. Aku menatapnya tak rela, khawatir sekaligus memikirkan apa yang sebetulnya terjadi.
"Naya," kata Mas Abin. Aku diam saja, mengamati setiap pergerakan Dewangga yang tak janggal sama sekali. "Dewangga itu mau mencelakakan diri."
"Gimana, Mas?"
Mas Abin menggeleng kecil, matanya memerah dan suaranya serak saat mengatakan sekali lagi. "Dewangga mau mencelakakan diri, tapi Nevan Cakra pun nggak tau di mana dan kapan itu bakal terjadi."
"Jangan bercanda." Aku tergelak kecil, mengusap sudut mata yang mendadak berair. Namun Mas Abin menggeleng, dan aku yakin dia memang tidak bercanda. Dia pernah menangis, tentu saja, dan apa yang membuatnya menangis pastilah hal yang penting sekali.
Oleh sebab, tanpa pikir panjang aku keluar mobil dan berlari cepat sebelum Dewangga dan Nevan Cakra meninggalkan tempat itu. Mereka menatapku dengan senyum tersungging. Tanpa diperintah, Nevan Cakra meninggalkan motor Dewangga. Aku menggantikan posisinya tanpa banyak pikir, duduk di boncengan motor Dewangga dan memeluk pinggangnya erat-erat.
"Kecuali kamu mau nyakitin aku, kamu boleh usir aku sekarang."
Dewangga tertawa kecil. Dia tidak bilang apa-apa, hanya kemudian melajukan motornya pelan dan tenang.
"Mau diantar pulang?" tanyanya.
"Mau didongengi di jalan." Kuletkkan daguku ke pundak kirinya. "Siapa sebenarnya Dewangga dan apa yang mau dia lakukan?"
Dia tertawa lagi, lebih pelan dan tetap merdu. Aku pikir dia tidak akan menjawab kebingunganku kali ini, tetapi rupanya dia memulai bercerita tak lama setelah itu. "Dewangga adalah ini," katanya. "Dan yang ingin dilakukan Dewangga adalah bertanggung jawab. Pertanggungjawaban itu penting, Anindhya, sehingga kelak, apa pun yang terjadi, seseorang yang dicintai Dewangga dilarang berduka. Dilarang menangis. Dilarang melarang Dewangga melakukan pertanggungjawaban."
___
Babak dua selesai.
___
KAMU SEDANG MEMBACA
All That is Lost Between Us (Selesai)
ChickLitDewangga bisa membaca pikiran orang. Anindhya bisa membaca pikiran Dewangga seorang. Di usia 26 tahun, hidup Anindhya tak lagi semudah ketika ia masih jadi bocah. Ia menyukai Biru dan disukai Satria. Namun di suatu kesempatan, datang Dewangga yang...