Rumah Nevan Cakra adalah rumah yang berukuran besar tetapi di desain sangat sederhana. Dewangga membawaku masuk dari pintu samping. Pintu yang sebelahnya ada kolam ikan arwana. Begitu masuk, aku disambut dengan foto seorang wanita berambut panjang tengah tersenyum. Di bawah foto itu terdapat tulisan: MAYA DEWI. Setelah mendekati lagi, aku baru sadar itu adalah lukisan. Bukan foto seperti dugaanku tadi.
Selain itu, banyak lagi furniture berbau seni di sini. Banyak foto yang aku tebak adalah karya seni Dewangga. Memasuki ruangan yang lain, aku dihadapkan dengan ruang televisi yang tak kalah lebar. Sofa biru panjang terletak di depan televisi. Seorang lelaki duduk di sana, melepaskan dasinya yang terasa mencekik leher, sembari menyambut kedatanganku dan Dewangga dengan senyuman tenang.
"Selamat datang di tempat tinggal lain milik Dewangga, Anindhya."
Aku tersenyum bingung, lantas membalas dengan salam lain. "Selamat sore, Pak."
"Selamat sore. Anggap saja rumah sendiri. Nggak perlu sungkan. Semua barang di sini boleh kamu sentuh."
"Kecuali Nevan Cakra, kamu nggak boleh sentuh dia meskipun potongan kukunya ataupun rontokan rambutnya." Dewangga menarikku agar berpindah ke sisi kanannya. Lantas dia duduk di sofa itu dan membiarkan aku duduk di sebelah kanannya, sementara Nevan Cakra tertawa di sebelah kirinya.
"Cinta menyusahkan ya," kata Nevan Cakra. Dia mengeluarkan rokok dari balik saku celana dam menyulut satu batang. "Bawa Anindhya ke ruangan lain sebelum dia menghirup racun dari ini, Wa."
Dewangga mendengus, tetapi tak urung membawaku pergi dari sana. Kami memasuki ruangan lain yang lebih besar lagi. Seperangkat komputer ada di sudut ruangan, lalu sebagian besar ruangan itu dilapisi kain hitam sama seperti ruangan di kontrakan Dewangga. Meja kaca transparan juga ada di salah satu sudut. Kursi kerja, lampu, benda seperti-payung-yang-entah-apa-namanya, dan berbagai alat lain. Dari semua yang ada di sana, aku hanya tertarik pada satu lukisan yang sama besar dengan lukisan Maya Dewi di ruangan pertama yang kami datangi tadi.
Inilah Lucky Prize dan Mira Hartono. Aku meraba kacanya, mengagumi sebentuk gambar wajah dari sepasang suami istri itu. Pantas saja Dewangga terbentuk sedemikian rupawan, rupanya dia adalah perpaduan dari lelaki tampan dan wanita cantik.
Aku berbalik badan dan langsung dihadapkan dengan Dewangga yang telah duduk di kursi. Senyumnya masih saja bertahan meski matanya tampak sedih sekali.
"Kenapa diletakkan di sini kalau bikin sedih?" Maksudku, kadang kerja butuh fokus. Kasihan kalau dia kerja sementara perasaannya selalu sedih melihat foto orang tuanya.
"Biarkan." Dia menatapku agak lama. "Tau nggak, keadaan yang sampai sekarang masih aku sesali?"
"Ada?"
"Ada."
Aku pikir dia demikian tenang, sebagaimana tenangnya saat menceritakan soal Nevan Cakra, Hartono, dan mendongengkan kisah Mira Hartono dan Lucky Prize.
"Ditinggal mati waktu usia masih 5 tahun." Dewangga menarik tanganku, diremas pelan saat berkata. "Nggak ada kenangan sama sekali."
"Semakin lama kenangannya semakin banyak," balasku, merujuk pada bahwa kenangan itu kadang membunuh. Entah betulan entah enggak, aku hanya membaca.
"Tapi kalau keadaannya seperti aku, akhirnya nggak punya apa-apa buat dikenang."
Aku tersenyum kecil, menyentuh wajahnya dan mengusapnya pelan. Tak apalah, Dewangga. Katamu takdir punya rencana yang bagus untuk setiap kisah. Jika mereka hidup lebih lama, mungkin jadinya tidak seperti ini. Namun, memang sesekali harus menunjukkan perasaan sedih pada orang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
All That is Lost Between Us (Selesai)
ChickLitDewangga bisa membaca pikiran orang. Anindhya bisa membaca pikiran Dewangga seorang. Di usia 26 tahun, hidup Anindhya tak lagi semudah ketika ia masih jadi bocah. Ia menyukai Biru dan disukai Satria. Namun di suatu kesempatan, datang Dewangga yang...