Dewangga punya kucing yang cukup banyak. Berbagai jenis juga rupanya. Anggora berwarna putih, persia berwarna hitam, dan british berwarna abu-abu. Semuanya gemuk dan menggemaskan. Paling penting, semuanya serasa anaknya Dewangga sendiri.
Bukan sekali dua kali aku berpikir menjadi kucing terasa lebih mudah daripada menjadi manusia. Namun, sisi lain diriku bilang, semua kehidupan memiliki porsi susahnya masing-masing. Mungkin kucing merasa ingin jadi manusia karena manusia bisa berkerja dan mencari makan sendiri.
"Bukan cuma kamu yang merasa ingin jadi kucing."
Aku tersenyum pada Dewangga. Tiga kucingnya, setelah makan whiskas, segera tiduran di bawah kakinya. Berguling-guling tanpa merasa capek.
"Aku nggak tau kalau Mbak Ace sampai cemburu kayak gitu," ujarku masih terbayang momen di rumah sakit tadi. "Aku pikir, dia satu-satunya orang asing yang paham kalau aku sama Mas nggak bisa jauh."
Bahkan Mas Abin minta aku tinggal di rumahnya setelah menikah. Atau dia tinggal di rumah Mama. Aku tahu Mbak Ace sangat realistis. Dia gadis dewasa yang telah banyak melalui masa sulit. Dia terbiasa mengambil keputusan-keputusan besar dalam hidupnya. Dia tangguh, dan tak suka hidupnya terlalu dicampuri orang lain. Bahkan selama ini aku tak berani tanya hal pribadi padanya.
"Menurut kamu, Mas Abin bakal gimana?"
Dewangga, masih dengan ketenangan yang misterius itu, tersenyum sembari mengelus kucingnya.
"Abin mencintai Ace."
Aku tahu.
"Tapi." Dewangga tampak ragu dan berhenti bicara. Tatapannya kembali sendu serupa tadi. "Tapi suatu saat dia akan ...."
"Akan?" tanyaku penasaran. Aku kini tahu kenapa Nevan Cakra memberikan tawaran pekerjaan, dan kenapa dia memintaku keluar dari WO secara baik-baik. Entah dia bisa membaca masa depan atau mengarang belaka, tetapi aku ingin dengar satu hal lagi soal masku.
"Abin pernah diberi tahu soal ini." Dewangga melanjutkan lagi. "Jangan sedih, Anindhya. Ace memang baik dan keren, tapi yang seperti itu biasanya nggak suka miliknya diganggu gugat."
"Termasuk memiliki Mas Abin?"
Dewangga mengangguk. Aku menahan napas ketika bertanya satu hal lagi. "Mereka akan menikah kapan?"
Dewangga menggeleng pelan. Dia berdiri saat kucing-kucingnya telah menggelepar di lantai seolah akan tidur siang. Aku melihatnya menidurkan ketiga kucing itu di dalam boks beralas kain berbulu. Kucing pun sangat dimanjakan. Bagaimana dengan anaknya nanti coba.
"Anaknya dan ibunya nggak akan diperlakukan seperti kucing, Anindhya."
"Tapi manis."
Dewangga mendengus dan tertawa pelan. Dia duduk di sebelahku setelah itu. Pintu gerbang rumahnya yang terhubung dengan parkiran terbuka lebar.
"Mas."
"Ya?"
"Apa yang harus aku lakuin setelah ini?"
"Menurut kamu harus melakukan apa?"
Aku cemberut. Bahkan aku tidak tahu. Aku merasa tidak ingin bertemu Mbak Ace yang sudah jahat ingin memisahkan aku dengan Mas Abin. Aku juga merasa takut bertemu Mas Abin.
Masku itu pernah mengalami ledakan amarah yang sangat besar di suatu masa, ketika Mbak Ace meninggalkannya saat terjadi masalah di hubungan mereka. Dia harus konsultasi dengan konselor rutin dan prosesnya berjalan cukup lama. Aku takut Mas Abin akan mengalami itu lagi jika Mbak Ace meninggalkannya. Aku takut kemudian dia marah padaku, menyalahkan keadaan kami yang terlahir terikat secara batin.
KAMU SEDANG MEMBACA
All That is Lost Between Us (Selesai)
ChickLitDewangga bisa membaca pikiran orang. Anindhya bisa membaca pikiran Dewangga seorang. Di usia 26 tahun, hidup Anindhya tak lagi semudah ketika ia masih jadi bocah. Ia menyukai Biru dan disukai Satria. Namun di suatu kesempatan, datang Dewangga yang...