Ruangan itu persegi dengan warna putih bersih. Foto terbingkai di salah satu dinding, tiga orang yang merupakan keluarga: papa, mama dan anak. Di atasnya ada sebuah lampu hias berwarna biru. Di tengah-tengah ruangan ini, ada meja bundar yang berisi semangkuk bubur kacang hijau hangat. Seorang wanita yang ada di dalam foto tadi duduk di depanku, tersenyum manis dan lembut. Aromanya wangi, sangat khas dan menenangkan. Kupikir, tak ada wangi parfum apa pun yang melebihi wangi wanita itu.
Dia adalah Mira Hartono. Aku mengingatnya hanya dari lukisan di rumah Nevan Cakra. Dibantu keyakinan yang entah dari mana asalnya, aku juga percaya lelaki di sebelahnya adalah Lucky Prize. Mereka tampak terlalu tenang. Bukan ketenangan semacam milik Maria Hartono yang mengerikan, ketenangan yang ada di sini adalah tenang yang sejuk. Maka aku tahu dari mana Dewangga memperoleh sifat tenangnya selama ini.
Dewangga mewarisi cukup banyak bentuk fisik Lucky Prize, dan hanya sedikit bagian Mira Hartono.
"Ke mana Dewangga?" Aku bertanya penasaran. Jika aku di sini, maka seharusnya Dewangga juga di sini. Sebab untuk apa aku bertemu orang tuanya jika tidak dengan Dewangga.
"Dewangga di rumah," kata Mira Hartono. "Kamu mau ke sana, titip bubur ya."
Bubur itu diserahkan padaku, masih dalam mangkuk kaca yang sangat cantik. Asap pun masih mengepul meski tipis.
"Dewangga suka bubur," kata Mira Hartono lagi. Aku patuh, meraih mangkuk berisi bubur dan pergi dari rumah itu menyusul Dewangga. Jalan yang harus dilalui terlalu panjang. Aku berlari, dengan langkah yang lebar-lebar, membawa bubur untuk beberapa lama. Jalan yang tak ada ujungnya, napasku terengah tapi kakiku tidak berhenti berlari, sampai di suatu jalan yang asing itu, Dewangga mendadak muncul dan menyambutku dengan senyuman hangat.
"Anindhya," katanya.
Selesai.
Aku membuka mata dengan napas agak terengah, menatap langit-langit rumah yang berwarna putih dengan noda kecil-kecil yang agak mengganggu. Aku telah sampai di rumah Dewangga.
"Baik?"
"Baik." Aku menatap lelaki itu. Dia tersenyum kecil, tangannya mengusap dahiku pelan sekali sembari bergumam pelan.
"Mereka nggak pernah menyapa aku dengan cara begitu, kamu curang ya."
"Mereka titip bubur kacang hijau." Aku duduk, menatapnya penuh penilaian. "Mau dibuatin?"
"Bisa?"
"Anaknya Mama pinter masak semua, lho."
Aku segera turun, izin meminjam kamar mandinya sebentar. Aku percaya kadang orang mati menyampaikan sesuatu melalui mimpi. Apa yang dimaksud bubur oleh Mira Hartono itu, aku juga tak mengerti. Namun boleh jadi Dewangga memang menginginkannya.
Selepas mencuci muka dan merapikan diri, aku dan Dewangga segera pergi ke supermarket, membeli bahan-bahan untuk membuat bubur kacang hijau. Tak butuh waktu lama dan kami segera menuju rumah Nevan Cakra. Dewangga bilang, aku akan lebih suka di dapur Nevan Cakra yang lengkap dengan segala jenis peralatan. Dan memang benar begitu.
Dapur Nevan Cakra bercat putih. Hampir seluruh bagiannya berwarna putih. Ini adalah warna solid yang sangat menyejukkam mata. Dewangga duduk tenang di kursi meja makan selama aku memasak. Dia tidak bisa masak, dan itu adalah poin minus untuk kelangsungan tradisi Hari Bebas Perempuan di keluarga Budiman. Itu pun, jika dia memang yakin kami berjodoh dan akan bertemu pernikahan. Aku sendiri enggan berharap muluk-muluk soal masa depan begitu. Putusnya Mas Abin dan Mbak Ace menjelaskan bagaimana kemungkinan-kemungkinan terburuk itu sangat mungkin terjadi.
Butuh satu jam lebih untuk memasak bubur kacang hijau sendiri sampai aku berhasil menghidangkan semangkuk bubur dengan asap yang masih mengepul ke hadapan Dewangga. Dia tersenyum senang, serupa anak-anak yang diberi mainan bagus.
KAMU SEDANG MEMBACA
All That is Lost Between Us (Selesai)
ChickLitDewangga bisa membaca pikiran orang. Anindhya bisa membaca pikiran Dewangga seorang. Di usia 26 tahun, hidup Anindhya tak lagi semudah ketika ia masih jadi bocah. Ia menyukai Biru dan disukai Satria. Namun di suatu kesempatan, datang Dewangga yang...