26. Henti Jantung

7.5K 1.8K 239
                                    

"Mas."

Aku menahan Nevan Cakra di ruangan. Dia berhenti melangkah, menoleh padaku. Cekung matanya tak lagi bisa ditutupi. Dia menyedihkan. Jika ditanya siapakah yang paling bersedih untuk keadaan ini, aku yakin dialah orangnya. Belum pernah, sepanjang aku bertemu dengannya, menyaksikan Nevan Cakra setak berdaya itu.

"Bisa bantu aku masuk ke kontrakan Dewangga?"

"Bisa."

"Kucingnya ada di sana, aku mau bawa pulang ke rumah."

Nevan Cakra mengangguk. Aku mengikutinya keluar ruangan. Kami melewati lorong rumah sakit dalam diam. Sepanjang perjalanan, bahkan kami memang hanya diam.

Sudah empat hari ini dia masih tidak sadar. Masih dinyatakan kritis. Masih membuat kami semua menunggu. Aku semakin pesimis dia akan sembuh. Apa lagi yang diharapkan dari manusia yang kecelakaan dan berharap mati demi menyumbangkan jantungnya? Bahkan di beberapa kesempatan aku berpikir, tidak sadarnya Dewangga ini pertanda supaya aku melepasnya dengan ikhlas. Namun aku tidak bisa, atau aku hanya belum bisa.

Nevan Cakra membukakan pintu untukku. Aku segera merunduk pada kucing-kucing yang bersuara kelaparan. Tubuhnya tampak lebih kurus dari terakhir kali aku melihat. Aku mengelusnya, mengangkat salah satu dan memeluknya.

"Babu kalian lagi sakit." Mereka membalasku dengan suara mengeong nyaring. Matanya berair, mungkin sakit atau sebetulnya mereka mengerti soal duka yang sedang terjadi di antara kami.

"Masukkan ke keranjang, Anindhya. Aku siapkan yang lain."

Aku mengambil keranjang kucing yang terletak di sudut. "Dia jahat ya. Sekarang harusnya aku nangis, tapi di keluarganya, aku sama sekali nggak boleh nangis." Aku memasukkan si kucing putih ke dalam keranjang. "Aku harus ngelawan mereka sendirian. Sendirian, padahal sebetulnya aku bukan siapa-siapanya. Keadaannya jadi kebalik, harusnya keluarganya yang mempertahankan dia buat bisa tetap hidup, tapi mereka memperjuangkan dia untuk mati secepatnya."

Aku mengedik, menarik napas dan membuangnya keras. Ketiga kucing itu sudah masuk ke dalam keranjang bersamaan dengan Nevan Cakra yang keluar membawa sekeranjang berisi makanan kucing dan kotak obat-obatan untuk kucing. Dia mengantarku pulang ke rumah. Aku juga mengajaknya masuk walaupun tidak akan lama. Mama membuatkan dia minuman hangat sekaligus makanan ringan.

"Sehat, kan?"

"Sehat, Tante."

"Tapi kamu kelihatan nggak sehat."

Aku tahu itu. Wajahnya bahkan pucat, mungkin lemas dan sebentar lagi dia akan menyusul kritisnya Dewangga.

"Titip kucing ya, Ma, dirawat baik-baik. Nanti bawa ke pet shop, soalnya udah lama nggak mandi."

"Kamu juga jangan lupa mandi."

Aku menatap Mama Ayna penuh sayang, kok tahu sih, aku belum mandi? Memangnya sejelas itu penampakan aku belum mandi ini? Padahal, sebisa mungkin aku berusaha menyembunyikan wajah ngantuk dan rambut berantakan. Minyak wangi juga sudah aku semprotkan banyak-banyak.

"Sudah makan?"

"Udah."

"Mas Abin di sana?"

"Iya."

"Mau istirahat dulu?"

Aku menggeleng pasti, rasanya tidak tenang meninggalkan Dewangga lama-lama. Aku memeluk Mama sebentar, lalu mengajak Nevan Cakra segera kembali ke rumah sakit. Lelaki itu harus menelan minuman hangatnya dalam beberapa tegukan paksa sebelum kami meninggalkan rumah.

"Kamu harus bertahan, Anindhya."

"Bertahan untuk apa?"

Aku menatapnya sekilas, lalu meraih ponsel di tas dan menghubungi Mas Abin.

All That is Lost Between Us (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang