"Hai, Mas."
Aku menyapanya ramah, seramah saat aku mengenalnya sebagai lelaki yang mudah dicintai. Seperti saat aku berkunjung bersama Dewangga ke sini. Dan dia, masih menyambutku tak kalah ramah. Seandainya dia tahu apa yang ingin aku sampaikan di sini, mungkin dia tidak lagi bisa senyum begitu. Matanya tidak akan menyipit dan justru akan menangis tersedu-sedan seperti tangisanku setiap malam.
"Aku harap keadaan kamu semakin baik."
"Seperti yang kamu lihat, Naya. Setiap hari aku merasa semakin baik."
Ya, dan aku berdoa dia tidak pernah sakit lagi. Dia tidak butuh jantung orang lain lagi.
"Sama Dewangga?"
"Aku sendirian." Aku duduk di sofa tanpa izin. Layla tidak ada di ruangan ini, dan sekarang aku tidak berniat canggung sama sekali. Kedatanganku tidak lagi untuk Mas Biru, tapi untuk Dewangga.
"Maaf ya, Mas."
"Aku rasa kita nggak ada salah ya, Naya?"
Aku menggeleng pelan. Nggak ada, seandainya aku tidak mendoakan hal terburuk terjadi untuk dia. Masalahnya aku sedang serakah sekali dengan tidak ingin Dewangga pergi.
Pada pertemuanku kali itu dengan Mas Biru, aku sama sekali tidak membahas soal Dewangga. Aku hanya membicarakan hal tak penting, berduka untuk anaknya, mendoakan kondisinya agar segera membaik, ngobrol dengan Layla soal keadaan dan pekerjaan. Lalu aku pulang. Membawa duka yang belum jelas ke mana arahnya. Menangisi kepergian yang direncanakan.
Usia memang soal takdir. Tapi manusia bisa mencelakai diri. Dan apakah manusia bisa bertahan saat jantungnya dilepaskan? Aku hanya dihadapkan pada kemungkinan terburuk. Tidak ada harapan untuk memperoleh kemungkinan terbaik.
Kupesan taksi menuju kediaman Hartono. Aku tiba hanya dalam beberapa menit. Rumah itu menjulang tinggi, kokoh dan angkuh. Tak tertandingi. Seolah menggambarkan pemiliknya yang memang tidak tertandingi. Hartono, kusebut nama itu dalam kepedihan yang dalam. Aku telah mencintai salah satu keturunanmu, dan kini dia berencana untuk mati, untuk menyelamatkan keturunanmu yang lain. Dia tidak mau dilarang dan tidak berharap meninggalkan kesedihan. Meski siapa pun yang menyayanginya akan bersedih untuk kepergian itu.
Seorang satpam menyapaku. Maria ada di dalam, katanya, dan dia akan izin dulu pada pemilik rumah ini sebelum membiarkan aku masuk. Tak lama dia kembali dan memintaku memasuki rumah Hartono. Aku disambut oleh Samuel Hartono yang tak banyak bicara, dituntun menuju ruangan Maria Hartono yang remang dan pengap. Rasanya sesak dan mengerikan.
"Duduklah, Nak. Kamu akan dibuatkan teh untuk kunjungan pertamamu."
"Terima kasih, Nyonya."
Ruangan itu berwarna putih, hanya diisi sebuah meja bundar kecil dan dua kersi yang berhadapan. Maria telah menempati salah satunya, sehingga kini aku menempati satu yang tersisa. Lampu hidup setelah Maria menepuk tangannya pelan. Sungguh ruangan yang hanya terisi warna putih.
Ini ruangan menakutkan, yang mampu merusak kesehatan mental seseorang. Ruangan yang dapat membunuh seseorang dalam kesepian mendalam. Putih memang lambang suci, katanya. Putih bersih adalah sebentuk perumpamaan hidup yang tanpa dosa. Namun aku pernah membaca pada sebuah artikel, bahwa salah satu ruangan paling mengerikan adalah ruangan dengan warna putih seperti ini.
Aku merasa Maria Hartono mengetahui itu, dan dia adalah wanita yang kesepian. Itu masuk akal jika mengingat selama hidupnya telah banyak ditinggalkan.
"Patah hati terburukku," katanya tiba-tiba. Aku kembali menatapnya. "Adalah kepergian Mira."
Pintu terbuka lagi. Seorang pelayan dengan seragam mengantarkan minuman dan diletakkan di meja. Lalu pelayan pergi dan pintu kembali tertutup.
"Pertama," Maria kembali bersuara tenang, "ketika Mira menikah. Dan kedua, ketika Mira mati."
KAMU SEDANG MEMBACA
All That is Lost Between Us (Selesai)
ChickLitDewangga bisa membaca pikiran orang. Anindhya bisa membaca pikiran Dewangga seorang. Di usia 26 tahun, hidup Anindhya tak lagi semudah ketika ia masih jadi bocah. Ia menyukai Biru dan disukai Satria. Namun di suatu kesempatan, datang Dewangga yang...