IBU KOTA

42.4K 6.9K 77
                                    

Telat pukul 17.35 WIB.
Pesawat yang di naiki Dania, Althar, dan Bunda telah mendarat di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, kota Tangerang provinsi Banten.

Sepanjang perjalanan menuju Jakarta, Dania sama sekali tidak tertidur. Gadis itu terus memerhatikan pemandangan langit dari balik jendela di sebelahnya. Berbeda dengan Althar dan bunda yang sudah terlelap mulai dari pesawat lepas landas. Bahkan sampai mendarat di Bandara Soekarno-Hatta.

Dania, Althar, dan Bunda mulai turun dari pesawat. Berjalan bersama-sama menuju lobi penjemputan. Dania sungguh terkagum melihat seisi bandara. Mulai dari spot-spot tempat yang keren, lampu-lampu gemerlap, golf car, dan beberapa objek lainnya.

Selain pertama kali naik pesawat, sore itu juga merupakan kali pertama Dania merasakan keluar kota. Selama 18 tahun hidup, yang dinikmati gadis itu sepanjang tahunnya hanya penampakan kota Palu. Ia sungguh sangat senang bisa menginjakkan kaki di kota Jakarta.

Keadaan hati Dania saat itu terlihat lebih membaik. Rasa senang pertama kali naik pesawat, juga pertama kali keluar kota membuat luka di dalam hatinya sedikit terlupakan.

Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, atau yang disingkat dengan DKI Jakarta, merupakan kota kelahiran kedua orang tua Dania. Ia sama sekali tidak teringat dengan kisah Sarah yang dijodohkan dengan ayahnya di kota ini.

Dania, Althar, dan Bunda sudah sampai di lobi bandara. Keadaan di sana sedang sangat ramai dengan orang-orang yang berlalu-lalang.

"Dimas!" Bunda tiba-tiba berteriak. Memanggil seorang pria tua berseragam satpam yang tengah berdiri kebingungan. Pria berseragam satpam itu adalah supir pribadi Bunda. Namanya Dimas. Ia sudah 4 tahun bekerja sebagai supir di keluarga Althar.

"Eh Ibu, Mas Althar, mari saya antar ke mobil!" Dimas berjalan menghampiri Bunda, mengambil koper yang Bunda bawa, dan langsung menuntun menuju mobil.

"Sini, Mas Althar, saya aja yang angkat." Dimas menghentikan Althar yang hendak memasukkan tasnya ke dalam bagasi.

"Ga usah, Om, aku aja." Althar menolak dengan lembut. Sambil memberikan senyuman tipis.

"Sini, Dan, tasmu!" Pria itu menjulurkan tangannya kepada Dania. Meminta tas yang tengah gadis itu bawa.

Dania menyerahkan tas sekolahnya kepada Althar. Althar kemudian langsung memasukkan tas sekolah Dania itu ke dalam bagasi. Setelah itu langsung masuk ke dalam mobil untuk berangkat menuju rumah.

"Turut berduka cita ya, Mas Althar." Ucap Dimas tiba-tiba. Di tengah perjalanan kembali ke rumah.

"Iya, makasih, Om." Althar menjawab singkat. Suaranya terdengar sangat pelan. Seperti tak ingin terdengar.

"Turut berduka?" Pertanyaan itu sontak muncul di otak Dania.

"Mas, kita mampir dulu ke restoran ayam bakar langganan saya, ya!" Bunda memotong, memerintha kepada Dimas.

"Oke, siap, Bu!" Dimas menyahut dengan penuh semangat. Dengan jari jempolnya yang mengacung ke kursi belakang.

Gedung-gedung menjulang ke langit tampak dari luar jendela. Dania sangat senang melihat pemandangan indah perkotaan dari dalam mobil. Sampai-sampai ia terlupa sejenak dengan musibah yang baru saja menimpa dirinya beberapa waktu yang lalu.

Langit mulai gelap, matahari mulai menenggelamkan diri di ufuk barat bumi Jakarta senja itu. Gedung-gedung tinggi di ibu kota mulai menyalakan lampunya. Memberi kesan penuh kegemerlapan.

LAUTAN DAN DENDAMNYA (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang