Pukul 20.00
Dania sudah tak menangis lagi. Matanya terlihat lelah mengeluarkan air. Hanya tersisa bekas lembab di wajahnya.Gadis itu berjalan keluar kamar. Tatapannya kosong, menuju teras rumah. Hatinya begitu hancur. Menyendiri adalah pilihan yang tepat untuk mendapat ketenangan.
"Dan!" Althar tiba-tiba muncul di belakang. Tepat usai Dania duduk di muka lantai.
Pria itu berjalan menghampiri Dania. Ternyata dari tadi, ia sudah memperhatikan Dania ketika turun dari kamar Sri. Mengikuti gadis itu, waswas jika terjadi sesuatu.
"Kamu nggak papa, Dan?" Althar ikut duduk. Berjarak 2 meter, untuk menjaga diri.
Dania menoleh. Menatap lama wajah Althar di sebelahnya dan tak lama mengangguk pelan. Gadis itu tersenyum, penuh kesenduan. Tatapannya tampak menyimpan banyak rasa sakit. Terutama akan kasus kematian Luna 2 bulan lalu.
Althar ikut menatap wajah Dania beberapa saat. Terlupa bahwa perempuan yang ia pandang bukanlah seorang yang mahram dengannya.
"Astaghfirullah!" Pria itu akhirnya tersadar. Mengusap wajah, kemudian membuang muka. Sudah cukup lama Althar memandang wajah Dania.
"Thar..." Dania tiba-tiba memanggil. Suaranya terdengar serak melembut.
"Kenapa?" Jawab Althar, sambil menghadap ke halaman depan.
"Aku mau nanya, sebetulnya apa yang udah kamu lakuin sampe bisa tau kalo Yasmin yang bunuh Luna?" Dania memberikan pertanyaan.
Althar menelan ludah, "Aku kasian sama kamu, Dan. Aku juga nggak percaya sama tuduhan itu. Waktu itu aku berusaha nyari bukti kalo kamu nggak salah. Biar kamu bisa keluar dari penjara."
"Terus apa yang kamu lakuin?" Dania menatap penasaran.
"Dulu, bulan pertama kamu dipenjara—aku cuma pasrah sama Allah, Dan. Aku cuman bisa harepin yang terbaik buat kamu dari jauh. Tapi semua itu berubah waktu Sri jenguk kamu di bulan ke-dua," Althar mulai mnjelaskan.
Dania terkejut, menatap heran Althar di sebelahnya. Ia merasa Sri belum pernah menjenguknya selama di penjara. Bahkan, hanya Althar yang pernah menjenguknya waktu itu. Itu-pun hanya sekali.
"Iya, Dan, Sri pernah jenguk kamu dulu. Kata Sri waktu itu kamu lagi nangis. Sri bilang, kamu keliatan kaya orang stres. Kaya orang depresi," Althar melanjutkan.
"Sri waktu itu cerita ke aku tentang keadaan kamu. Kamu menderita karena hukuman yang seharusnya milik orang lain. Setelah denger cerita dari Sri, aku langsung pergi ke Asrama Keputrian. Aku berusaha nyari sesuatu yang bisa buktiin kalo kamu nggak salah sama tuduhan itu. Tapi sayang, 3 Minggu berturut-turut, aku pergi ke asrama keputrian, aku sama sekali nggak nemuin apa-apa yang bisa dijadikan bukti." Pria itu menghela napas.
"3 kali setiap Minggu, aku dateng ke Asrama Keputrian. Dan alhamdulillah, aku diizinin sama pengurus asrama. 3 Minggu pertama, aku bener-bener putus asa, Dan. Nggak dapet bukti, nggak dapet penjelasan, nihil! Sampe pada akhirnya, Silvi tiba-tiba dateng nemuin aku. Dia ngajak buat ngobrol 4 mata. Dan di-situ, dia jelasin semuanya. Dia kasih tau kalo Yasmin yang bunuh Luna. Dia juga jelasin detail kejadian waktu itu. Mulai dari racun, sampe hari waktu Luna meninggal."
"Aku ngobrol sama Silvi dan nggak ada yang tau. Dia nangis. Dia takut buat ngungkapin semua yang dia tau ke aku. Dia takut dipenjara. Dia juga takut Yasmin marah sama dia. Tapi dia juga kasihan sama kamu, Dan. Dia juga kasian sama Luna. Akhirnya, karena aku paksa, dia ceritain semuanya ke aku. Dia juga liatin bukti-bukti yang ada di handphone-nya itu." Wajah Althar sedikit mengerut.
Dania hanya diam. Menatap sendu gelapnya langit Ibu Kota malam itu. Matanya berkaca-kaca, sudah dari tadi ia berusaha menahan air matanya agar tak lepas.
"Waktu itu Silvi belum siap buat laporin semuanya ke polisi. Sampe akhirnya kemaren malam, dia berantem sama Yasmin. Yasmin mukul dia make tongkat sapu. Sama kaya yang dia lakuin sama Luna dulu. Kata Silvi, dia udah nggak tahan. Akhirnya dia lawan Yasmin, sampe Yasmin babak belur. Dan saat itu dia ambil botol sianida yang Yasmin simpen di dalem lemarinya. Silvi langsung nelpon aku setelah itu. Nyuruh aku ke Asrama Keputrian secepet mungkin. Aku langsung cepet ke sana. Dan ternyata, sampe di sana udah banyak polisi. Silvi ternyata udah nelepon polisi sebelum aku sampe." Althar terdiam sejenak.
Dania menatap heran, "Terus?"
"Akhirnya Yasmin ditangkep. Dia dibawa sama polisi dan dijadiin terdakwa dari kasus pembunuhan Luna. Dan yah, berakhir sampe di sidang pidana tadi siang." Althar mengakhiri cerita.
Dania mengangguk. Tersenyum mendongak ke arah langit. Hatinya masih sangat labil. Perasaan selalu diiringi kegelisahan yang mencekam. Apa yang Althar ceritakan sungguh tak adil bagi diri-nya. Tak pernah ada manusia yang ingin diberi hukuman atas kesalahan orang lain.
"Silvi emang cewe hebat ya," Althar tiba-tiba berucap.
DEG!
"Rasa apa ini Kenapa sangat sakit, Dania? Tidak, TIDAK! Kau tidak cemburu! Kau tidak boleh cemburu! Jangan biarkan tembok kokoh yang telah kau bangun untuk menutupi rasa sedihmu itu hancur Dania! Ku mohon Dania! Ku mohon!" Batin Dania berbicara. Membujuknya dari dalam.
Kalimat yang Althar katakan barusan terasa sangat menyakitkan. Jauh lebih pedih didengar dibanding ceritanya tadi. Sungguh gadis yang duduk di sebelahnya sangat cemburu. Bahkan sangat amat cemburu.
Tembok kokoh yang baru Dania bangun di dalam hati, untuk menutupi rasa sedih seketika hancur usai mendengar kalimat singkat itu. Sungguh wanita memang makhluk yang pencemburu.
Perlahan setetes air mata terjatuh. Mata yang sedari tadi sudah menahan airnya, kini telah melepas. Beberapa tetes air mata berjatuhan di pipi lembut Dania. Pujian yang Althar katakan barusan membuat hati Dania benar-benar sangat sakit. Gadis itu mencintai Althar. Sangat cinta!
"K-kamu kenapa nangis?" Althar menatap prihatin. Tersadar dengan gadis di sebelahnya.
"Hah? Nggak kok! Aku cuman sedih aja." Dania menggeleng-gelengkan kepala. Tersenyum lebar.
Tak mungkin ia akan memberi tahu bahwa dirinya amat cemburu. Bahkan, tentang rasa yang ada di hatinya itu-pun, tak pernah diketahui Althar.
"Ya uda, Dan, kamu yang sabar, ya! Aku mau masuk dulu." Althar beranjak. Kemudian berbalik dan berjalan masuk.
Dania mengusapkan wajah. Menahan air mata yang terus mengalir dari pelupuk mata. Ia harus menjadi wanita kuat. Wanita yang tak mudah cemburu. Wanita yang tak mudah menangis.
Sungguh malam itu hati Dania terasa amat sakit. Terutama setelah mendengar pujian pada Silvi. Sungguh ia sangat cemburu. Sangat amat cemburu.
• • •
KAMU SEDANG MEMBACA
LAUTAN DAN DENDAMNYA (TELAH TERBIT)
Romansa"𝘼𝙥𝙖 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙡𝙚𝙗𝙞𝙝 𝙠𝙚𝙟𝙖𝙢 𝙙𝙖𝙧𝙞𝙥𝙖𝙙𝙖 𝙙𝙚𝙣𝙙𝙖𝙢𝙣𝙮𝙖 𝙖𝙞𝙧 𝙡𝙖𝙪𝙩?" Diselimuti dengan pedihnya sudut semesta yang hanya diberikan kepada insan-insan yang malang. Hari itu tanggal 28 September 2018, keberuntungan sudah tak in...