RENCANA

32.3K 5.2K 187
                                    

Pukul 23.30
Dania belum tidur. Masih memainkan ponsel, sambil berbaring di ranjang Sri.

Entah mengapa, gadis itu begitu cemburu. Perkataan Althar tadi membuat hatinya merasa kurang nyaman. Ia sebenarnya juga gelisah kembali ke rumah itu. Bukan karena tak bersyukur atau sombong. Melainkan karena keberadaan Sarah yang selalu membuatnya bersedih. Kala wajah Sarah tampak jelas di hadapannya.

Semenjak bencana yang menimpa Palu 6 bulan yang lalu, Dania selalu merasa bahwa Althar adalah miliknya. Ia selalu berpikir pria tampan itu mencintainya.

Namun setelah mendengar pujian pada Silvi tadi, prasangka dan harapan yang ada di hatinya seketika hancur. Dania merasa laki-laki tampan itu tidak mencintai dirinya. Walau juga bukan berarti Althar mencintai Silvi.

Gadis cantik itu benar-benar sangat cemburu. Padahal hanya karena Althar memuji wanita lain. Ia benar-benar sangat putus asa hari itu. Hatinya benar-benar sakit mulai dari bermimpi bertemu dengan Luna tadi pagi.

Luka yang ada di dalam, jauh lebih menyakitkan daripada darah yang berkeluaran dari sela kuku tadi pagi. Rasanya bagai ditusuk tombak tajam. Diiris dengan pisau dan digores dengan jarum.

"Sri, kayanya aku nggak bisa tinggal di sini lagi deh," Dania tiba-tiba berkata. Sebuah perkataan yang mengejutkan Sri yang baru saja keluar dari toilet.

"Hah, kenapa lagi, Dan? Karena Sarah?" Sri menatap cengang.

Dania mengangguk kecil. Sebenarnya penyebabnya tidak hanya itu. Dania juga tak mau tinggal di rumah itu lagi karena terlalu berlebihan dalam merasa cemburu kepada Althar.

Ia ragu untuk menceritakan soal rasa cemburunya itu kepada Sri. Sebab Sri tak pernah mengetahui akan rasa istimewa yang ada di hatinya. Cinta kepada Althar hanya disimpan di dalam hati Dania saja. Dan tak pernah keluar dari batasnya.

"Jadi kamu mau tinggal di mana lagi, Dan? Nggak mungkin kamu tinggal di Asrama Keputrian lagi!" Sri mengerutkan kening.

"Sri, percaya sama aku, Sri! Aku memang nggak bakalan tinggal di Asrama Keputrian lagi. Aku juga nggak tau bakal tinggal di mana. Yang terpenting, aku nggak tinggal di rumah ini lagi. Aku nggak bisa Sri!" Dania membalas serius.

Sri terdiam. Menghela napas panjang usai mendengar perkataan Dania. Gadis cantik itu tampak sangat bersikeras dengan keinginannya. Sri hanya menunduk. Kepalanya berputar mencarikan solusi.

"Kamu nggak usah khawatir, Sri! Aku yakin, aku bisa jaga diriku sendiri kok! Aku nggak bakal kenapa-napa! Aku bakal usaha sendiri Sri!" Dania mengambil tangan Sri, menggenggam, sambil tersenyum meyakinkan.

Sri menelan ludah, masih terdiam. Ia tak yakin untuk membiarkan temannya itu pergi lagi. Apalagi kali ini tak jelas tujuannya ke mana.

"Kamu percaya aja sama aku, Sri! Please... Kamu nggak usah khawatir! Kamu jangan cerita ke Bunda atau Althar juga! Kamu pura-pura nggak tau aja ya Sri," Dania tersenyum. Tatapannya tampak putus asa.

Pikiran Dania malam itu hancur. Trauma serta rasa sakit akan kematian orang-orang yang ia cintai hadir kembali menghantui pikirannya. Semua terjadi setelah mendengar ungkapan Althar. Akalnya mendorong untuk terus merasa terbanting-terbanting. Lagi pula, menerima kematian banyak orang tak semudah membalikkan telapak tangan.

Setelah terdiam lama, Sri akhirnya mengangguk. Perempuan itu pasrah dengan Dania yang sangat tampak bersikeras. Namun setelah itu Sri berpikir kembali. Tetap berusaha mencarikan solusi yang lebih baik dari yang Dania ingin.

"Ya udah, kalo yang kamu emang pergi dari rumah ini, ini gajiku, kamu bawa, ya! Uang ini kamu pake aja buat ngekos atau segala macem. Tapi kamu jangan macem-macem ya, Dan! Usaha..." Sri menjulurkan sebuah amplop. Menatap pasrah wajah Dania.

LAUTAN DAN DENDAMNYA (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang