005

411 36 0
                                    

Please don't be a silent readers.

~

"Kita sudah sampai?"

Mendapat pertanyaan, Bihan mengangguk sebagai jawaban. Seperti yang Fiki minta, tepat hari ini, Bihan mengajak pria itu untuk menemui seorang guru yang merupakan teman dari almarhum ayahnya.

Fiki melongokkan kepalanya dari jendela mobil untuk melihat keluar. Senyum tipis merekah di wajahnya ketika merasakan keasrian daerah ini. Fiki sendiri tidak tahu sekarang ini di mana, tapi yang jelas, tadi mereka hanya menempuh waktu sekitar dua jam saja dari kantor.

Setelah Bihan memarkirkan mobilnya, mereka berdua langsung turun dari kendaraan roda empat itu. Fiki memperhatikan sekitar. Suasana tempat ini begitu asri dengan beberapa pohon di sekitar. Atmosfernya berbeda seperti di kota-kota besar.

Tak jauh dari keberadaan mobil mereka, di sana terlihat rumah sederhana dengan aula terbuka yang cukup luas. Jauh di belakangnya juga terdapat beberapa rumah yang terlihat lebih kecil dari rumah utama. Namun, yang menarik perhatian Fiki adalah bangunan layaknya gedung yang terletak tepat di sebelah rumah utama.

Bukan sebuah gedung yang mewah, hanya gedung sederhana dengan dua bangunan yang masing-masing memiliki luas dan lebar yang sama.

Fiki agak mendongakkan kepala untuk melihat sebuah tiang nama. Matanya agak menyipit berusaha membaca tiang nama yang bertuliskan Pondok Belajar Tahsin dan Tahfiz.

Sekarang Fiki paham ke mana Bihan kali ini membawanya. Namun, apakah pria itu berniat ingin mendaftarkannya di pondok tersebut?

"Ayo."

Melihat Bihan yang sudah mulai berjalan membuat Fiki mengikuti langkah pria itu di belakang. Mereka melangkah menuju rumah utama di sana.

Di sepanjang jalan menuju rumah utama, Fiki tak henti-hentinya mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ia memperhatikan beberapa anak muda yang berjalan dari satu tempat ke tempat lain dengan menundukkan kepala.

Semua wanita-wanita yang ia lihat di sana menggunakan pakaian seperti pakaian yang biasa Zahra kenakan, tidak sedikit juga dari mereka yang membulatkan niat untuk menutupi sebagian besar wajahnya dengan nikab. Yang lebih membuat Fiki begitu heran adalah, ketika melihat sekumpulan wanita yang berjalan keluar gedung dengan pakaian yang menutupi seluruh tubuh hingga ke wajahnya.

"Sstt, Bihan!"

Bihan melirik Fiki yang baru saja berbisik, ia menatap temannya itu dengan aneh. Lagi pula, untuk apa juga Fiki berbisik, padahal tidak terdapat larangan yang melarang seseorang untuk berbicara di lingkungan ini.

"Apa?" tanya Bihan, yang anehnya jadi ikut berbisik karena terbawa suasana.

"Itu namanya apa? Kenapa beberapa wanita di sini memakai pakaian itu?"

Bihan menatap sebentar apa yang temannya itu maksud, ternyata pakaian yang begitu tertutup itu yang dimaksud oleh Fiki. Pantas saja Fiki tidak tahu, toh sekarang sudah sangat jarang sekali ada wanita yang berpakaian seperti itu. Bahkan, Bihan pun yakin kalau Fiki belum pernah melihat pakaian itu sebelumnya.

"Itu burkak."

Keheranannya sudah terjawab, sekarang Fiki malah merasa begitu takjub pada wanita-wanita itu. Bagaimana tidak, di saat wanita lain sedang sibuk-sibuknya mempercantik diri dan membuka aurat untuk mempertontonkan kecantikannya, wanita-wanita di sini tidak seperti itu. Mereka bahkan menutup seluruh tubuh hingga wajahnya, yang bisa Fiki tebak kalau ada wajah yang tak kalah cantik di balik burkak dan nikab yang mereka kenakan.

DESTINY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang