Please don't be a silent readers.
~
Fiki mengembuskan napas. Ucapan abah tadi siang masih singgah di pikirannya, yang membuat dirinya jadi kebingungan sendiri.
Jujur saja, Fiki masih tidak tahu niatnya untuk mempelajari ilmu agama ini karena Allah atau malah karena orang lain. Walaupun Fiki juga tahu, kalau yang membuatnya begitu ingin mempelajari ilmu agama adalah karena Zahra.
Namun, dalam lubuk hatinya yang terdalam, Fiki tidak membenarkan apa yang ingin ia lakukan itu hanya semata-mata karena Zahra. Ada omongan Bihan juga yang membuatnya menjadi sadar akan pentingnya mempelajari ilmu agama.
Saat Bihan berkata kalau seorang ayah adalah pemimpin dari madrasah, kata-kata itu mampu membuat hatinya jadi tergerak untuk menjadi seorang pemimpin madrasah yang baik dan benar.
Semenjak Bihan berkata kalau seorang ayahlah yang akan bertanggung jawab atas keluarganya termasuk dalam urusan ilmu agama, dari situ pula Fiki ingin menjadi seorang ayah yang dapat mengemban segala tanggung jawabnya dengan baik.
Fiki sadar kalau sudah sepatutnya ia melakukan ini. Bukan hanya karena ia akan menjadi seorang ayah nantinya, tapi juga karena ia adalah seorang muslim yang sudah seharusnya memahami dan mempelajari agamanya sendiri.
Tadi abah sempat bilang padanya agar meluruskan niat lebih dulu baru datang kembali ke sana. Jadi, Fiki memilih untuk menuruti abah sekaligus memikirkan niat awalnya.
Untuk mengetahui niat awalnya itu, Fiki membulatkan tekad untuk menjauhi Zahra dulu. Ia tidak akan menemui Zahra, memikirkan wanita itu, mencari informasi tentang wanita itu, bahkan ia tidak akan mengirimkan pesan untuk wanita itu lagi dalam waktu tujuh hari ke depan.
Bukan apa-apa, Fiki hanya ingin tahu dan ingin memastikan niatnya saja. Jikalau dalam waktu tujuh hari itu Fiki tetap teguh untuk mempelajari ilmu agama, maka Fiki yakin kalau niatnya mempelajari ilmu agama bukanlah karena wanita itu. Dengan begitu, Fiki bisa langsung datang untuk menemui abah dan mulai belajar dari pria itu.
Fiki kembali mengembuskan napas, ia melirik jam dindingnya yang sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Di tengah malam seperti ini pun dirinya belum bisa tertidur, padahal besok ia dan Bihan akan melakukan meeting dengan klien.
Hanyut dalam lamunan membuat pikiran Fiki tanpa sengaja jadi mengarah pada wanita yang sudah ia niatkan untuk dijauhi. Wanita itu datang ke pikirannya tanpa seizin.
Sedang apa wanita itu? Bagaimana harinya hari ini? Apakah wanita itu mencarinya? Semua pertanyaan itu berenang di kepala Fiki tanpa diminta.
Setelah sadar, Fiki langsung berdecak. Ia jadi sebal dengan dirinya sendiri yang untuk kali ini tidak bisa teguh pada pendiriannya. Padahal, ia sudah berniat untuk tidak memikirkan wanita itu dalam kurun waktu tujuh hari. Namun, belum juga lewat satu hari dari niatnya, dirinya sudah kembali memikirkan wanita itu.
Kalau begini ceritanya, Fiki memilih untuk bangkit dari sofa dan beranjak pergi ke dalam kamar. Lebih baik ia tidur saja daripada pikirannya kembali memikirkan hal yang tidak seharusnya dipikirkan.
°°°°
"Umi, tolong bilangin Abi kalau minum kopinya harus dikontrol. Nggak boleh kebanyakan minum kopi dalam satu hari."
Rosa yang baru saja mendengar ucapan dari anak laki-lakinya mendengkus. Bukan apa-apa, anak laki-lakinya yang sekarang sudah menjadi seorang dokter itu tidak ada lelah-lelahnya untuk memberikan wejangan untuk ayahnya sendiri. Bukannya Rosa tidak suka, tapi masalahnya, suaminya itu sangat bebal untuk diberitahu, Rosa jadi lelah sendiri jika memberitahu suaminya yang keras kepala itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
DESTINY [END]
Romance[Berubah judul menjadi DESTINY] Ketenangan dalam hidup Zahra bagai diporak-porandakan setelah ada pria 'gila' bernama Fiki yang tiba-tiba masuk ke dalam hidupnya mengambil peran. Fiki yang terobsesi untuk menaklukkan hati wanita itu membuatnya rela...