013

263 40 3
                                    

Please don't be a silent readers.

~

"Bagaimana kabarmu?"

Fiki mendengkus. "Wa'alaikumussalam."

"Eh, astaghfirullah. Assalamu'alaikum."

Fiki tertawa renyah ketika mendengar suara yang terdengar panik itu. Ia sendiri tak mengerti mengapa bisa-bisanya Bihan lupa memberi salam, tidak seperti biasanya.

"Iya, wa'alaikumussalam. Ada apa kau menyuruhku menelepon?"

"There's just a little problem."

"BI-soft?"

"Nope."

"Lalu?"

"Aku tidak yakin harus memberitahukannya padamu atau tidak."

Fiki mendengkus sedikit keras. Kalau tidak yakin, seharusnya Bihan tidak perlu menyuruhnya untuk menelepon pria itu. Lagi pula, kalau sudah begini, jiwa keingintahuan Fiki jadi meronta-ronta saking penasarannya.

"Katakan saja, kau sudah terlanjur membuatku penasaran!"

Bihan di seberang sana terlihat memutar-mutarkan pulpennya di sela-sela jari, ia terdiam sebentar dengan kebimbangan ini. Namun, akhirnya hanya embusan napas pria itu yang dapat Fiki dengar.

Fiki melirik jam yang tertempel di dinding kamar yang sudah menunjukkan pukul 11.50, yang menandakan kalau sebentar lagi azan zuhur akan segera berkumandang menginterupsi mereka. "Kau ingin bicara atau tidak?"

Bihan mendengkus, tidak sabaran sekali pria itu. "Kau yakin ingin mengetahuinya?"

"Hm, memangnya perihal apa?"

"Zahra."

Nama itu. Nama yang sudah mulai asing di telinganya kembali terdengar, sosok yang mulai terlupakan oleh memorinya kembali teringat saat nama itu disebut.

"Kenapa? Wanita itu ingin menikah?" tanya Fiki berguyon untuk menutupi perasaan canggung dalam dirinya.

"Ah, ternyata kau sudah mengetahuinya, ya?"

Deg

Jantung Fiki nyaris saja berhenti berdetak sesaat ketika mendengar ucapan Bihan barusan. Hatinya mencelos. Bagai ditindih benda berat, dadanya pun ikut terasa sesak yang teramat.

"Kata istriku, ayah dari wanita itu akan memilihkan calon suami untuknya. Belum ada keputusan yang wanita itu ambil, tapi kalau pria pilihan ayahnya adalah pria baik dan sesuai kriteria wanita itu, maka tidak ada alasan lain lagi bagi wanita itu untuk menolaknya."

Fiki masih membisu diam di tempatnya. Tak ada sepatah kata yang mampu keluar dari bibirnya. Tenggorokannya terasa kering tercekat, kakinya mulai terasa lemas seakan sudah tak lagi sanggup untuk menopang bobot tubuhnya.

"Sebenarnya aku berniat memberitahukan ini setelah tahu keputusan akhir yang wanita itu ambil, tapi setelah dipikir-pikir, lebih baik aku memberitahukan ini lebih awal saja guna menjagamu. Mulai sekarang, lebih baik kau mengubur perasaanmu padanya, demi kebaikan bersama."

Dengan seulas senyum yang perlahan terbit di wajahnya, Fiki mengangguk pelan. "Tenang saja, sudah kulakukan."

"Are you okay?"

Fiki tertawa renyah mendengarnya, tidak biasanya Bihan begitu mengkhawatirkannya seperti ini. "Apa aku harus patah hati dulu agar kau bisa memberi perhatian begini?"

DESTINY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang