025

384 53 0
                                    

Please don't be a silent readers.

~

Zahra menggigit ujung jarinya gelisah. Tubuh yang terbalut bathrobe itu mondar-mandir di dalam kamar mandi. Rambutnya yang basah beberapa kali meneteskan buliran air.

Gawat. Zahra lupa untuk membawa pakaiannya ke hotel. Celakalah dia. Sudah hampir satu jam lamanya ia menetap di kamar mandi ini, dan sudah tiga kali Fiki mengetuk dan menanyakan keadaannya di dalam.

"Lama banget, kamu lagi yoga atau lagi mandi, Zahra?"

Zahra terkesiap. Ia makin dibuat bingung tak tahu harus apa. Mungkin, kalau ia hanya seorang diri di kamar hotel ini, Zahra akan langsung saja keluar kamar mandi hanya dengan menggunakan bathrobe. Namun, masalahnya dia tidak sedang sendiri, ada Fiki yang berada di luar sana.

Tok tok tok

"Kamu nggak lagi pingsan 'kan, Ra?"

Mengembuskan napas, Zahra memberanikan diri untuk bicara, "Mas Fiki?"

"Kenapa? Kamu nggak papa, 'kan?" Intonasi tinggi yang menunjukkan rasa kekhawatiran tak bisa lagi Fiki tahan ketika mendengar suara pelan dari dalam sana.

Pintu yang tak kunjung dibuka membuat Fiki mengembuskan napas risau. Ia khawatir kalau ada hal buruk yang terjadi pada Zahra di dalam sana.

"Anu ..." Zahra menggigit bibir, ia sangat malu untuk mengatakannya. "Aku lupa bawa baju."

Melongo adalah respons Fiki. Tak habis pikir dengan kelakuan Zahra. Padahal, dirinya sudah khawatir. Tapi ternyata, hanya karena hal sepele begini, wanita itu sampai menghabiskan waktu berlama-lama di dalam kamar mandi. Tanpa diminta, seringaian khas Fiki muncul dalam rautnya.

"Nggak usah pakai baju."

Melotot. Wanita yang ada di balik pintu itu melotot. Kalau saja Fiki bukan suaminya, maka Zahra akan melayangkan cubitan mautnya itu pada pinggang Fiki.

"Mas, serius!"

"Aku lebih serius, Sayang."

"Mas!"

Fiki tertawa puas. Sayangnya, ia tidak bisa melihat raut wajah Zahra karena terhalang oleh pintu kayu di depannya. "Sebentar, aku cari dulu."

Mendengar langkah kaki yang menjauh, Zahra langsung mengembuskan napas. Ia menoleh ke arah cermin yang berada di sebelahnya. Semburat merah disertai pipi yang memanas membuat Zahra menggeleng. Tidak, perlakuan Fiki yang sering membuatnya bersemu tidak bisa dibiarkan.

"Ada nggak? Aku udah kedinginan," tanya Zahra dengan menaikkan sedikit volume suaranya agar Fiki dapat mendengar.

"Buka pintunya."

Tak ada pemikiran buruk tentang Fiki, Zahra langsung membuka pintu kamar mandi yang akhirnya menunjukkan dirinya dengan bathrobe secara utuh.

Fiki tersenyum. Sedikit terpana ketika ia bisa melihat rambut panjang Zahra yang terurai. Rambut dan lekuk tubuh yang selalu tertutup, kini ia bisa memandanginya. Hanya dia seorang.

Tanpa aba-aba, tarikan di tangannya membuat Zahra terjatuh ke dalam pelukan Fiki. Matanya melebar, jantungnya berdegup, tidak lupa dengan badannya yang ikut membeku. Pelukan Fiki terasa kuat, tetapi ada kenyamanan yang Zahra rasakan di sana.

DESTINY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang