014

278 41 1
                                    

Please don't be a silent readers.

~

"Bar, nanti kamu naik motor sama Kak Fiki, ya?"

Akbar yang sedang membantu memasukkan boks-boks berisi nasi ke dalam mobil sewaan hanya mengangguk saja tanpa menyahut sepatah kata pun.

Di sisi lain, Fiki tengah mengkoordinir kegiatan mereka pagi ini. Seperti kebiasaan di pondok abah, di hari Jumat yang terang selepas melaksanakan salat Jumat, pondok abah selalu melaksanakan kegiatan yang dinamakan Jumat berkah, yang mana di dalam kegiatan ini, para santriwati yang dipimpin oleh umi akan memasakkan makanan dan para santri yang akan mengantarkan makanan itu ke salah satu panti asuhan terdekat.

Kebetulannya, hari ini, Fiki, Akbar, dan Adam yang terpilih untuk menjadi panitia guna mengkoordinir kegiatannya. Fiki sendiri tak paham mengapa dirinya dipilih, padahal ia masih terhitung sebagai santri baru di sini.

"Udah masuk ke mobil semua?"

Adam mengangguk dengan ibu jari yang mengacung ke atas. Melihat itu, Fiki tersenyum lega, akhirnya ia bisa mengemban tanggung jawabnya dengan baik.

"Ayo, kita jalan sekarang aja," kata Fiki menginstruksi.

"Kak Fiki sama Akbar aja, biar Adam yang di mobil, sekalian ngawasin makanannya," seru Adam menyahut.

Akbar mendengkus. "Bilang aja nggak mau kena panas!"

"Astaghfirullah, nggak boleh suuzan duhai akhi."

Akbar tak menyahut. Adam memang tak berbohong, tetapi apa yang Akbar katakan pun benar adanya. Adam memang berniat untuk mengawasi boks makanan yang berada di mobil, tetapi selain itu, ia juga memang tidak mau terkena terik matahari kalau seandainya ia yang menaiki sepeda motor.

"Ya udah, jalan duluan aja, Dam, pasti di jalan akan macet."

Adam menatap Fiki, ia mengangguk lalu setelahnya beranjak pergi memasuki mobil yang di dalamnya juga sudah terdapat abah.

Setelah mobil yang mereka tumpangi sudah pergi, sekarang giliran Fiki yang harus menyusul bersama Akbar menaiki sepeda motor.

"Kak Fiki bisa naik motor?"

Fiki tersenyum dalam hati, bagaimana bisa ia tidak dapat menaiki kendaraan beroda dua itu, padahal dulu kendaraan itulah yang selalu ia naiki.

"Akbar aja ya yang bawa motornya?" tanya Akbar yang dengan sukarela menawari.

Fiki sendiri hanya mengangguk saja, tidak ada salahnya kalau dirinya ini yang dibonceng, lagi pula ia juga sudah cukup lelah sedari tadi.

Mendapat anggukan setuju dari Fiki, Akbar buru-buru berjalan ke parkiran untuk mengambil motor, sedangkan Fiki sedikit berjalan menuju gerbang untuk menunggu Akbar.

Tak lama, karena setelahnya Akbar sudah berada di depannya dengan sepeda motor hitam yang ia naiki. Tak ingin mengulur waktu, Fiki segera naik yang membuat motor itu langsung melesat ke jalan besar.

"Akbar dengar-dengar, bulan depan Kak Fiki udah nggak di pondok lagi, ya?"

Tamparan angin dan bisingnya knalpot kendaraan disertai beberapa klakson tak membuat suara Akbar teredam. Fiki masih dapat mendengar jelas ucapan remaja di depannya ini.

"Tahu dari Abah?" Sekarang, Fiki yang malah bertanya.

Tak ada sahutan yang keluar dari bibir Akbar, melainkan sebuah anggukan yang ia perlihatkan.

"Iya, kenapa?"

"Belajarnya hanya sampai di situ?"

Fiki terkekeh kecil. "Nggak. Saya masih belajar sama Abah, mungkin seminggu sekali saya akan menemui beliau. Lagi pula, saya harus kerja, Bar."

DESTINY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang